JIC– Salah satu syarat dalam jual beli sebagaimana disebutkan oleh para ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam kitabnya al-Halal dan al-Haram fil Islam adalah barang yang diperjualbelikan adalah milik dari pihak penjual. Beliau sebutkan dalam satu bab nya yaitu Menjual barang yang tidak dimiliki.
Artikel ini mengupas bagaimana hukum menjual barang yang tidak dimiliki dalam sudut pandang fiqh muamalah.
Dalil pijakan dari al-Qur’an
Dari ayat al-Qu’ran menjual barang yang tidak dimiliki termasuk ke dalam kategori memakan harta sesame dengan jalan yang tidak benar, hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS An-Nisa ayat 29 dimana Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Hal ini disebabkan karena setiap orang tidak akan rela/ridlo apabila barang miliknya diperjualbelikan oleh pihak lain tanpa ijin darinya. Oleh karena itu, menjual barang yang tidak dimilikinya termasuk juga dari keumuman larangan dari ayat tersebut.
Dalil pijakan dari al-Hadits
Dari al-hadits, terdapat dalil khusus mengenai larangan menjual barang yang tidak dimiliki, sebagaimana nasihat Rasul kepada Hakim bin Hizam. Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).
Selain itu, dalil adalah penalaran yang logis bahwa penjualan barang yang tidak dimiliki penjual akan menyebabkan terjadinya permusuhan dan pertikaian antar manusia sehingga hal tersebut dilarang.
Pengecualian yang dibolehkan
Namun tidak semua yang berkaitan dengan penjualan barang yang tidak dimiliki semuanya diharamkan karena ada 4 pengecualian, dimana pengecualian tersebut dibolehkan seseorang untuk menjual barang yang tidak dimilikinya. Pengecualian yang diperbolehkan adalah (1) wakil, mudharib, dan perantara (makelar) (2) orang yang diberi wasiat, (3) wali, dan (4) pengawas (nadhir) wakaf.
(1) wakil, pengelola (mudharib), dan perantara (makelar)
(1a) Wakil dalam akad Ijarah atau wakalah bil ujroh
Wakil adalah orang yang diijinkan oleh pemilik untuk bertransaksi dengan hartanya pada waktu ia masih hidup, seperti seorang yang memberikan mobilnya kepada orang lain dan berkata, “Juallah mobil ini.” Maka orang lain tersebut adalah wakil yang sah menjualnya karena dia menduduki kedudukan pemilik dengan perwakilan tersebut. Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam jual beli sebagaimana hadits berikut ini.
Hadits dari ‘Urwah ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata bahwa,
أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun dapat membeli dua kambing. Di antara dua kambing tadi, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dengan demikian jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu kemudian orang tersebut menjualnya, maka penjualan itu sah. Meskipun wakil bukan pemilik, tetapi dia menggantikan posisi pemilik. Namun, wakil harus bertransaksi dengan sesuatu yang menurutnya lebih baik. Jika barang dagang itu bertambah, maka dia tidak boleh menjualnya sampai pertambahan itu selesai. Berbeda dengan orang yang bertransaksi untuk dirinya sendiri, dia boleh menjual barang dagangannya sesuai dengan kehendaknya.
Jadi, orang yang menjual untuk orang lain wajib baginya untuk menjual dengan untung, sedangkan orang yang bertransaksi untuk dirinya sendiri dapat bertransaksi sesuai dengan yang dia kehendaki sekalipun rugi.
(1b) Pengelola (Mudharib) dalam Akad mudharabah
Akad mudharabah disebut juga dengan akad kerjasama bisnis, dimana ada pihak yang memiliki modal dan pihak pengelola. Pihak pemilik modal diistilahkan dengan shahibul mal, sedangkan pengelola adalah mudharib. Pengelola dapat menjual barang yang menjadi milik shahibul maal, dan atas keuntungan tersebut, dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati di awal.
(1c) Perantara dalam Akad Ju’alah
Perantara (makelar) juga diperkenankan menjual barang yang bukan miliknya dengan ijin dari pemiliknya. Hal ini juga telah dijelaskan oleh para ulama diantaranya:
Imam Bukhari menyebutan beberapa keterangan ulama,
وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا
“Menurut Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim an-Nakhai, dan Hasan al-Bashri, upah makelar itu dibolehkan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
لا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ : بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ
Tidak masalah pemilik barang mengatakan, “Jualkan kain ini. Jika laku lebih dari sekian, selisihnya milik kamu.”
Ibnu Sirin juga mengatakan,
إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ ، أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ
Tidak masalah jika pemilik barang mengatakan, “Jualkan dengan harga sekian. Nanti keuntungannya milik kamu. Atau keuntungannya kita bagi.” (Shahih Bukhari, 3/92).
(2) Orang yang diberi wasiat
Orang yang diberi wasiat adalah orang yang diperintahkan untuk bertransaksi untuk seseorang setelah ia meninggal. Misal, seseorang memberikan wasiat kepada Ahmad misalnya dengan sesuatu dari hartanya. Maka, orang yang diberi wasiat boleh mengelola (menjual) apa yang diwasiatkan kepadanya jika menurutnya lebih bermanfaat. Orang yang diberi wasiat bukanlah pemilik harta tersebut, tetapi menduduki posisi pemilik.
(3) Wali
Perwalian ini ada dua yaitu wali yang bersifat umum dan wali yang bersifat khusus.
Perwalian yang bersifat umum seperti para hakim. Hakim berwenang atas tanah-tanah yang tidak diketahui pemiliknya dan atas harta benda anak-anak yatim jika tidak memiliki wali secara khusus.
Perwalian yang bersifat khusus adalah wali terhadap anak yatim dari orang tertentu, seperti perwalian paman terhadap keponakannya yang yatim. Wali ini memperoleh hak mengelola harta anak yatim melalui jalur syariat, sedangkan wakil, orang yang diberi wasiat, dan pengawas diberi wewenang langsung oleh pemilik. Adapun wali, maka perwaliannya diambil melalui jalur syariat.
(4) Pengawas
Pengawas adalah orang yang diamanahi sebagai pengelola wakaf, yaitu yang disajikan sebagai wakil dalam hal wakaf. Misalnya, seorang laki-laki berkata, “Saya mewakafkan rumah ini untuk orang-orang fakir dan miskin, dan pengawasnya adalah fulan bin fulan.” Maka orang yang diamanahi juga boleh mengelola harta wakaf, walaupun dia bukan pemiliknya, tetapi dia mewakili kedudukan pemilik. Ini diistilahkan dengan nadhir.
Umar bin Khattab pernah mewakafkan harta yang dimilikinya di Khaibar. Beliau berkata, “Yang mengelola adalah Hafshah, kemudian orang-orang yang memiliki pemikiran cerdas di antara keluarganya.” Maka, Hafshah diangkat oleh Umar sebagai Nadhir atau pengawas atas harta wakafnya.
Artikel ini ditulis oleh Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA, dengan judul “Kajian Fiqh Muamalah mengenai Menjual Barang yang Tidak Dimiliki”
Afwan, izin tanya tadz, apakah ini bisa disimpulkan sepanjang ada akad/persetujuan antara si pemilik barang dengan perantara lalu antara perantara dengan konsumen itu dinilai sah ?