Oleh:
Ade Suhandi || Kasubdiv Penyiaran PPIJ dan Dosen Komunikasi
FENOMENA digital menjadikan popularitas sebagai indikator utama nilai sosial dan keberhasilan. Namun dalam Islam, ukuran keberkahan dan dampak tidak selalu sejajar dengan eksposur publik. Artikel ini mengkaji konsep dampak dalam perspektif Islam, menelusuri perbedaan antara riya’, ikhlas, dan viralitas sebagai fenomena sosial kontemporer. Dengan pendekatan multidisipliner—teologis, etis, dan sosiologis—artikel ini mendorong kesadaran bahwa amal yang tidak terlihat publik pun tetap bernilai besar di sisi Allah. Dampak sejati, dalam Islam, tidak terletak pada popularitas, melainkan keikhlasan dan kontinuitas amal.
Di era media sosial, nilai sebuah tindakan seringkali diukur dari banyaknya likes, followers, dan views. Istilah “viral” menjadi kata kunci kesuksesan yang baru, termasuk dalam ranah dakwah, amal sosial, bahkan keislaman pribadi. Narasi seperti “berdakwah lewat TikTok”, “berbagi kebaikan via Reels”, dan “influencer hijrah” memperlihatkan bahwa digitalisasi membawa agama ke ranah publik yang lebih luas.
Namun, apakah ukuran viralitas selalu mencerminkan keberkahan atau nilai spiritual yang sejati? Apakah seseorang yang tidak dikenal publik tidak bisa memberi dampak? Tulisan ini berargumen bahwa dalam Islam, dampak tidak diukur dari besar kecilnya panggung, tetapi dari niat, keikhlasan, dan konsistensi amal.
Dampak dalam Perspektif Islam: Maknawi, Bukan Statistik
- Makna “Dampak” dalam Al-Qur’an dan Hadis
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa yang dinilai bukanlah kuantitas, melainkan kualitas dan keikhlasan amal:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzalah: 7)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadis tersebut memperlihatkan bahwa penilaian Ilahi melampaui impresi sosial. Dampak menurut Allah bisa saja berasal dari amal tersembunyi yang tak pernah disorot publik.
- Amal Tak Terlihat, Pahala Tak Terputus
Islam mengenal konsep ‘amal jariyah—amal yang terus mengalir pahalanya meskipun pelakunya telah wafat. Banyak amal jariyah dilakukan oleh orang-orang yang tidak populer di zamannya, tapi terus memberi manfaat:
- Mengajarkan ilmu
- Menanam pohon
- Menulis mushaf
- Membangun sumur
- Dampak mereka “tidak viral”, tapi terus hidup.
Kritik terhadap Budaya Viral dalam Islam
- Bahaya Riya’ Tersembunyi
Riya’ adalah penyakit hati yang disebut sebagai syirik kecil oleh Nabi ﷺ:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil: yaitu riya’.”
(HR. Ahmad)
Ketika seseorang terlalu mengejar dampak dalam bentuk perhatian publik, tanpa disadari ia mungkin menggeser orientasi amalnya dari Allah menuju manusia.
- Ketergantungan Validasi Eksternal
Kajian psikologi media (Turkle, 2015) menunjukkan bahwa generasi digital cenderung mengembangkan self-worth berdasarkan jumlah respons sosial. Dalam Islam, nilai amal adalah internal, bukan eksternal:
“Dan katakanlah: Bekerjalah kalian, maka Allah akan melihat pekerjaan kalian, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang beriman.”
(QS. At-Taubah: 105)
Perhatikan bahwa melihat amal oleh Allah tidak sama dengan mempublikasikan amal. Pengetahuan Allah terhadap amal tidak bergantung pada impresi manusia.
Meneladani Nabi dan Ulama Terdahulu: Dampak yang Sunyi
- Nabi Muhammad ﷺ dan Dakwah Bertahap
Di awal dakwahnya, Nabi berdakwah secara diam-diam di rumah Arqam. Tidak ada media massa, tidak ada trending, tapi akarnya kuat. Kualitas lebih dulu, kuantitas mengikuti.
- Para Ulama Anonim dalam Sejarah
Banyak perawi hadis, penyalin mushaf, penyebar dakwah di daerah pedalaman yang tidak terkenal, tapi jasa mereka menyelamatkan Islam. Misalnya: ulama lokal yang membangun generasi santri tanpa sorotan media.
Dimensi Sosiologis: Makna Kebaikan dalam Ruang Privat
Dalam sosiologi Islam, dampak tidak hanya dinilai dari transformasi sosial makro, tetapi juga dari hubungan interpersonal dan niat batin.
Amal seperti:
- Mendoakan orang lain tanpa sepengetahuannya
- Membantu sahabat yang sedang krisis
- Menghapus komentar jahat agar tak melukai orang lain
…semuanya memberi dampak dalam skala mikro, tapi mendalam.
Strategi Membangun Amal Berdampak Tanpa Harus Viral
- Mulai dari Niat
Evaluasi kembali: “Untuk siapa aku menulis, berbagi, atau berbuat?”
- Kecil Tapi Konsisten
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling rutin walaupun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
- Fokus pada Manfaat, Bukan Sorotan
Tanya: Apakah perbuatan ini memberi manfaat? Bukan: Apakah ini akan disukai?
- Beramal dalam Diam
Latih diri untuk melakukan kebaikan yang tidak diketahui siapa-siapa, hanya Allah. Ini melatih keikhlasan.
Kesimpulan
Dampak dalam Islam tidak diukur dari viralitas, tetapi dari keberkahan, keikhlasan, dan kesinambungan amal. Seorang Muslim tidak perlu menjadi pusat perhatian untuk menjadi pusat kebaikan. Islam tidak melarang ketenaran, tetapi mengecam amal yang tujuannya hanya mencari perhatian.
Di era algoritma dan eksposur instan, penting bagi generasi Muslim untuk memegang nilai bahwa “tidak viral bukan berarti tidak bernilai.” Karena Allah Maha Melihat, meski manusia tidak.











