JIC – Ada tiga ulama besar di tanah Betawi yang sangat terkenal. Bukan saja mereka terkenal karena ilmu mereka yang dalam, namun peran dakwah mereka untuk memajukan Islam di tanah Betawi. Mereka itu adalah Kyai Haji (KH) Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan KH Guru Mughni.
Salah seorang dari tiga ulama besar itu terkenal di kawasan Jakarta Selatan yaitu Guru Mughni. Tokoh yang sering disebut Guru Mugni ini terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Nama lengkap Guru Mugni adalah Abdul Mugni bin Sanusi bin Ayyub bin Qays. Dia lahir pada tahun 1860 di daerah Kuningan Jakarta Selatan dari pasangan H. Sanusi bin Ayyub dan Hj. Da’iyah binti Jeran.
Ia pertama kali belajar agama kepada ayahnya H. Sanusi bin Qais di masjid Mubarok, Kuningan. Sesudah itu ia belajar kepada seorang Guru mengaji bernama H. Jabir kemudian meneruskan belajar kepada Sayyid Usman bin Yahya yang digelarinya “Mufti Betawi”. Dalam usia 18 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun, Di sana ia berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Sa’id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa’id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali-Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatho, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan lain-lain.
Sesudah kembali ke tanah air, Guru Mugni mulai mengajar di rumahnya sendiri dan di masjid untuk beberapa waktu sebelum kembali lagi ke Makkah dan bermukim untuk kedua kalinya selama lima tahun. Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak juga menjadi ulama besar, seperti KH Marzuki (Guru Marzuki). Hubungan pertemanannya dengan Guru Marzuki agaknya memiliki keistimewaan tersendiri, karena gurunya bernama Muhammad Umar Syatha itu dikenal sebagai mursyid tarekat Al-Alawiyah yang memberikan ijazah tarekatnya kepada Guru Marzuki, sedangkan Guru Mugni sendiri tampaknya tidak memberi perhatian khusus kepada tarekat. Ilmu fiqih, tauhid, tafsir, hadist, dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab merupakan ilmu yang ia ajarkan kepada beberapa muridnya.
Hubungan pertemanan Guru Mugni dengan Guru Marzuqi berlanjut kepada kekeluargaan melalui jalur pernikahan. Putra Guru Mughni, KH. Ali Sibromalisi menikah dengan Hj. Syaikhoh, putri Guru Marzuqi. Melalui jalur pernikahan inilah anak cucu mereka berdua tetap bisa bersilaturahim dan bertukar ilmu pengetahuan.
Guru Mugni menolak pekerjaan sebagai Penghulu Kepala yang ditawarkan kepadanya—seperti umumnya ulama Betawi—karena alasan kebangsaan, tidak ingin bekerjasama dengan penjajah. Selain itu, ia juga dikenal sangat kaya sehingga untuk mengurusi kekayaan itu ia sengaja menyewa pengacara yang bernama Muhammad Nafis. Secara ekonomi Guru Mugni tidak mempunyai masalah oleh sebab itu bisa dipahami bila ia menolak pekerjaan yang ditawarkan pemerintah. Bahkan sebagian hartanya disumbangkan untuk membiayai kegiatan dakwah Islam dan juga untuk membantu masyarakat Kuningan yang memerlukan bantuan modal untuk berdagang atau mengembangkan usaha mereka. Bahkan ketika Guru Mugni bermukim di Makkah, ia kerapkali memberikan bantuan pinjaman kemah-kemah kepada jama’ah haji Indonesia. Sementera rumahnya sendiri yang berada di Makkah dijadikan wakaf tinggal para pelajar Indonesia yang bermukim di sana.
Hal itu menunjukkan sifat sosial dan dermawan Guru Mugni yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada dirinya, terutama dalam membela tanah air. Ketika terjadi revolusi fisik melawan penjajah, ia mengizinkan rumahnya yang terletak di Jl Mas Masur 38 Tanah Abang dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh perkumpulan Yong Islamiten Bond oleh KH. Agus Salim.
Perlawanan Guru Mugni terhadap Belanda juga dilakukan ketika hendak membangun masjid Baitul Mugni. Saat itu Guru Mugni meminta rekomendasi kepada pemerintah Belanda untuk membangun masjid tetapi Belanda—atas pertimbangan Snouck Hurgronje—tidak mengeluarkan rekomendasi. Guru Mugni tetap melaksanakan pembangunan masjid Baitul Mugni pada tahun 1901 dengan biaya sendiri dan di atas tanahnya sendiri.
Pada tahun 1926, Guru Mugni mendirikan madrasah Sa’adatud Dârain yang merupakan satu-satunya madrasah yang ada di wilayah Kuningan pada saat itu. Menurut putra Guru Mugni, KH. Hasan Basri, bangunan madrasah ini semula merupakan rumah kediaman ayahnya. Ketika madrasah sudah didirikan, pengelolaannya diserahkan kepada kedua puteranya KH. Syahrowardi dan KH. Rahmatullah dan dibantu menantunya, H. Mahfudz dan H.M Toha. Guru Mugni sendiri hanya sebagai pengawas dan pembina.
Dalam hal pendidikan, ia menerapkan aturan yang ketat kepada keluarganya. Tidak ada satupun anaknya diperbolehkan di sekolah umum milik Belanda. Ini merupakan bentuk perlawanan Guru Mugni yang non koperatif kepada pemerintahan kolonial. Kendati demikian bukan berarti ia anti ilmu umum. Ia memanggil guru-guru umum untuk mengajarkan anak-anaknya secara privat. Hasil didikannya terbukti berhasil, banyak anak cucu keturunannya menjadi ulama-ulama besar yang kelak meneruskan perjuangannya, seperti KH. Ahmad Mawardi, KH. Syahrowardi, KH. Ali Syibramalisi, KH. Abdul Aziz Abdullah Suhaimi dan lain-lain.
Selama hidupnya Guru Mugni menulis dua buah karya, di antaranya adalah Taudhîh al-Dalâ’il fî Tarjamati Hadist al-Syâmil dan Naqlah Min ‘Ibârat al-Ulama Nasihat Mawâ’izah li Awlad al-Zamân Fî Adab Qirô’at al-Qur’ân wa Ta’limih.
Di antara muridnya yang mengikuti jejak sang guru berdakwah adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH Hamim dari Lenteng Agung, Guru Na’im dari Cipete, KH Hamim dan KH Rasain juga dari Cipete, Guru Ilyas dari Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas)
Guru Mugni wafat pada hari Kamis, 5 Jumadil Awal 1354 H/1935 M. Shalat jenazah baru dilaksanakan pada hari Jum’at yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga di Mushola Al-Mizan/Langgar Tanjung, Jalan Mega Kuningan Barat Blok E, 33 Kuningan Timur Jakarta Selatan, berdekatan dengan Kedutaan Besar Republik Islam Pakistan.
Sumber: CIVILITA.COM