GURU NAIM CIPETE ANAK BETAWI YANG OGAH JADI JAWARA

0
414
guru-naim-cipete-anak-betawi-yang-ogah-jadi-jawara

JIC– Muhammad Na’im lahir di Cipete Utara Jakarta Selatan pada tahun 1912, dari pasangan H. Na’im dan Mera. Ia bungsu dari enam bersaudara laki-laki dan perempuan. Ayahnya adalah seorang jawara, namun ia dia tidak mengikuti keinginan ayahnya, yang berharap dia jadi jawara. Hal ini karena ia menyaksikan sendiri kehidupan ayahnya yang tidak teratur. Sebagai jawara, ayahnya sering mengembara ke berbagai tempat dan sering tidak tidur di rumah.

Kenyataan ini membuatnya berpikir untuk mengubah kehidupan keluarganya. Tidak seperti kakak-kakaknya yang dengan tekun mempelajari ilmu silat dari ayah mereka, Muhammad Na’im tidak tertarik untuk melanjutkan pelajaran silat, meskipun sempat belajar beberapa jurus. Dia lebih cenderung belajar membaca Al Qur’an dari para guru di kampung halamannya, ia ingin menjadi ulama. Meski demikian, kehidupan para jawara atau pendekar silat pada waktu itu menempati posisi terhormat dan disegani masyarakat.

Karena itu pula, beberapa keturunan H. Na’im, sang ayah, di antaranya H. Abdul Majid sempat menjadi Kepala Desa Cipete Utara, dan namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan di bilangan Cipete, begitu pula dengan H. Abdul Karim.

Untuk mengejar cita-citanya, ketika memasuki masa remaja, Muhammad Na’im lebih senang belajar membaca Al Qur’an di Cipete, dia mendengar ada guru-guru kenamaan, seperti guru Mughni dan Guru Ma’mun bin Sanusi di daerah Kuningan Jakarta Selatan, yang memberikan pengajian ilmu agama. Maka dia pun belajar kesana bersama tiga orang sahabatnya, Hamim, Raisin dan Tabran dengan berjalan kaki, ketiganya adalah putra Hj. Rohaya seorang guru ngaji di Cipete. Selain itu, ia mengaji juga kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara.

Dari guru Mughni dan guru Ma’mun dia mempelajari tafsir, fiqih, nahwu, aqidah dan shorof, selama belajar dia tidak hanya menyimak dengan seksama ilmu-ilmu yang diajarkan para gurunya, tetapi juga mendengarkan dengan baik segala nasehat yang mereka berikan serta ingin mencontoh dan meneladani sikap dan gaya hidup para gurunya, terutama cara mendidik putra-putri mereka. Dia juga sempat belajar beberapa waktu kepada KH. Abdur Rozak Ma’mun, meski baru kembali dari Makkah, keduanya kemudian menjalin persahabatan yang sangat erat dan saling menghormati.

Muhammad Na’im sangat kagum dengan upaya para gurunya dalam mencari nafkah dengan cara bertani, sementara dibidang pendidikan, dia sangat tertarik dengan keputusan guru Ma’mun yang mengirim putranya Abdur Rozak belajar di Mekkah Ia juga ingin belajar di Mekkah, apalagi ia juga ingin menunaikan ibadah haji. Untuk merealisasikan keinginan tersebut, ia kemudian aktif memelihara dan mengurus ladang pertanian dan empang ditanah miliknya, yang luasnya sangat memungkinkan untuk itu, dia menanam papaya, rambutan, belimbing, melinjo, dan jambu. Ia juga memelihara sapi dan ikan tawes serta ikan gurame diempang miliknya. Naluri untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan masyarakat pada diri Muhammad Na’im sudah tampak sejak dia masih muda.

Ia tidak hanya belajar dari para gurunya, melainkan juga mencontoh perjuangan mereka untuk mengajarkan ilmu kepada keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Semula, ia mendirikan musholla kecil di dekat empang miliknya, yang berdekatan dengan sumber air alami yang dikenal masyarakat sebagai kobakan. Di tempat yang sederhana itulah ia mengajarkan membaca Al Qur’an kepada murid-muridnya, di antara muridnya itu ada seorang pemuda bernama Asy’ari, yang membantu mengurus ladang pertanian gurunya, kelak pemuda ini diminta membantunya mengajar.

Berkat kesungguhan dan kegigihannya dalam menabung dari hasil cocok tanam dan memelihara ikan, pada tahun 1932 Muhammad Na’im dapat melaksanakan ibadah haji dan belajar di kota Makkah. Setelah melaksanakan ibadah haji, Muhammad Na’im menetap di kota Makkah dan belajar kepada para ulama kenamaan di kota tersebut di antaranya; Syaikh Ali Al Maliki, Sayyid Alwi Al Maliki, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Ahyad Al Bughuri, dia juga berkawan dengan putra-putra Indonesia yang belajar di kota suci itu, antara lain KH. Noer Alie, Bekasi. Setelah menetap di sana selama tiga tahun, ia kembali ke kampung halamannya Cipete, dari sinilah dia berniat untuk berdakwah.

Tidak lama berada di tanah air, ia menikah dengan Mardhiyah binti Haji Sarbini, guru Al Qur’an yang bersuara merdu di Kuningan Jakarta Selatan. Untuk melancarkan dakwahnya, musholla kecil yang dibangun di tepi empang dipindahkan ke dekat lokasi rumahnya, dia juga membuka pengajian untuk kaum pria dan wanita pada tiap malam Senin dan Sabtu siang. Lambat tapi pasti pengajian itu mendapat sambutan dari masyarakat, jama’ahnya tak hanya datang dari kampung Cipete, melainkan juga dari desa tetangga seperti Pangkalan Jati dan Jagakarsa, diantara mereka ada yang bermukim atau tinggal di rumah-rumah yang disediakannya.

Selain mengajar, ia juga diminta memberikan ceramah pengajian di Pedurenan, Cipete Utara dan Selatan, padahal untuk mencapai tempat-tempat tersebut dia harus berjalan kaki dengan kondisi jalan yang kiri kanannya masih belukar. Namun semua itu tidak mematahkan ghiroh atau semangatnya untuk berdakwah, kegiatan tersebut dilakukan dengan penuh keikhlasan dalam rangka mencari ridha Allah swt. dan mengabdi kepada masyarakat.

Dalam rangka mencapai keinginan untuk memperbanyak keturunan, yang diharapkan bisa melanjutkan kegiatan dakwah, KH. Muhammad Na’im kemudian menikahi Saodah Musyaffa yang tidak lain adalah adik kandung kawannya ketika mengaji di Kuningan, yakni Hamim, Raisin dan Tabrani. Selang beberapa tahun kemudian KH. Muhammad Na’im menikah lagi dengan Hj. Masnah binti Mubarok yang berasal dari Petogogan (sekarang Blok A), ketiga isteri itu ditempatkan di rumah masing-masing yang dibangun di sekitar musholla tempatnya mengajar. Dengan bertambah padatnya kegiatan mengajar, KH. Muhammad Na’im minta bantuan salah satu muridnya, Asy’ari untuk mengajar Al Qur’an kepada murid yang lain.

Muhammad Na’im bersama para sahabatnya KH. Abdur Rozak Ma’mun, KH. Ahmad Hajar Malisi, KH. Madani dan KH. Syakur Khoyri kemudian membangun Madrasah Roudhotul Muta’alimin di daerah Mampang Prapatan.

Dia juga mengirim anak-anaknya, Abdul Hayyi dan Aisyah belajar di sekolah tersebut. Ide untuk mendirikan sekolah tersebut pada masa itu dianggap yang sangat maju dan cemerlang, karea sekolah agama Islam masih sangat jarang, waktu itu di Jakarta baru ada sekolah Jami’at Kheir di Tanah Abang, yang dibangun dan dikelola oleh para habaib. Pengalaman membangun sekolah Roudhotul Muta’alimin kemudian dijadikan bekal oleh KH. Muhammad Na’im dalam membangun sekolah Darut Tahzib, atas swadaya masyarakat diatas tanah wakafnya beserta keluarga di Cipete. Begitu pula pengalamannya ikut aktif dalam pembangunan Masjid Al Ihsan di Cipete, dijadikannya sebagai bekal dalam membangun

Masjid An Nur diatas tanah wakafnya beserta keluarga dengan dana pembangunannya dari masyarakat. Untuk meningkatkan ilmu, KH. Muhammad Na’im juga aktif menghadiri pengajian Habib Ali Al Habsyi di Kwitang dan Habib Ali Bungur. Seiring jalannya waktu, do’a KH. Muhammad Na’im untuk memperoleh keturunan yang banyak dikabulkan Alloh SWT, dia dikaruniai 30 orang anak, dia berharap putra-putri serta keturunannya dapat melanjutkan perjuangannya dalam berdakwah.

Kegiatan dakwah yang kian bertambah padat dan jumlah anggota keluarga yang semakin besar membuat KH. Muhammad Na’im memperluas usaha pertaniannya dengan membeli tanah disekitar rumahnya dan dibeberapa lokasi di Cipete. Persahabatannya dengan para ulama terkemuka dan para habib, seperti KH. Abdur Rozak Ma’mun, Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur serta lamanya di Makkah, telah memperluas cakrawala pemikirannya. Pergaulannya diperluas dengan mengikuti perkembangan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan di tanah air.

Dalam pandangannya kiblat pendidikan agama di tanah air adalah Jawa Timur, khususnya Pesantren Tebu Ireng pimpinan Hadhrotusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Maka putra pertamanya Abdul Hayyi pun dikirim kesana, namun dia juga mendidik putra-putrinya mendalami ilmu-ilmu lainnya di sekolah umum. Kedekatannya dengan Hadhrotusy Syaikh juga seiring sejalan dengan aktifitasnya di NU. Aktivitasnya di organisasi tersebut mengantarkannya bersahabat dengan sesama pengurus dan simpatisan NU lainnya, seperti KH. Abdul Wahid Hasyim,  KH. Idham Cholid, KH. Anwar Musaddad, KH. Ilyas, KH. Syaifuddin Zuhri, KH. Tohir Rohili,  KH. Mursyidi, KH. Ishaq Yahya, KH. Ahmad Syaichu, KH. Noer Alie Bekasi, dan KH. Abdul Aziz Amin. Statusnya sebagai salah seorang pengurus Syuriah NU Jakarta menyebabkannya sering menghadiri muktamar-muktamar NU yang diselenggarakan di Jawa maupun di daerah lain.

Pada tahun 1949, bersama KH. Abdur Rozak Ma’mun, KH. Jumhur menghadiri Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, pada kesempatan itu bersama KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab Chasbulloh dan KH. Ahmad Dahlan menjadi saksi atas dideklarasikannya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat.

Guru Na`im Cipete meninggal dunia pada 12 Mei 1973 pada usia 61 tahun setelah dirawat empat haridi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta karena mengidap penyakit jantung. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Masjid An Nur Cipete yang didirikannya, seminggu sebelum wafat dia masih sempat meresmikan pembangunan sebuah Musholla di daerah Pedurenan Jakarta Selatan, yang kemudian diberi nama “Baitun Na’im”. Kini isterinya yang masih hidup ada dua orang, putra-putrinya yang masih hidup ada 27 orang, cucu dan cicitnya ada sekitar 300 orang, diantara mereka banyak yang berkiprah dibidang dakwah dan pendidikan seperti; KH. Abdul Hayyi Na’im, KH. Muhyiddin Na’im, KH. Muhammad Fatih Na’im, Hj, Siti Aisyah, Hj, Mahmudah, Siti Sahlah Na’im.

Di samping itu banyak pula yang mengabdikan diri di berbagai instansi pemerintah dan swasta. Di bidang pendidikan, tidak sedikit putra-putri dan cucunya belajar di luar negeri, juga memainkan peranan penting dibidang dakwah, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di beberapa kota di Jawa Barat bahkan sampai Jawa Timur.

Adapun yang bekerja sebagai pegawai negeri juga tidak sedikit, diantara mereka juga ada yang menjadi dokter. Pada acara peringatan 40 hari wafatnya KH. Muhammad Na’im,  KH. Abdur Rozak Ma’mun, sahabatnya, menerbitkan sebuah catatan khusus tentang shohibnya itu. Untuk mengabadikan perjuangannya, namanya digunakan sebagai nama jalan yang menuju ke Masjid An Nur.

Sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi Tahun 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here