Jakarta, sebagai ibukota negara Republik Indonesia tak ayal lagi menjadi daya tarik setiap orang dari berbagai daerah lain di tanah air, bahkan juga masyarakat dari belahan dunia lain untuk mengadu nasib, bukan sekedar mencari nafkah tapi juga mereka yang hendak meniti karir, di bidang seni, musik, politik, birokrat kaum profesional dan lain sebagainya, baik laki-laki, perempuan maupun mereka yang berkelamin ganda. Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah sekitar 12 juta jiwa. Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.
Kota yang sejak pemerintahan Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin dijuliki kampung besar ini, ternyatatumbuh sebagai kota metropolitan. Penghuninya yang terdiri dari berbagai suku dan tradisi, mulai bergeser menjadi masyarakat modern yang metropolis. Dunia hiburan malam yang ditandai dengan muculnya tempat hiburan malam, seperti night club, stembath (mandi uap) massage (panti pijat) yang semula dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang ingin releks ternyata lebih menjurus kepada kemaksiatan, pelacuran terselubung. Tempat perjudian juga muncul dimana-mana, baik skala besar maupun sekala kecil di masyarakat. Saat itu yang besar adalah judi hwa-hwe yang berpusat di Petak IX, Jakarta Barat dan Nalo (Nasional Lotre) yang ditujukan untuk memperoleh pembiayaan dalam pembinaan olahraga nasional.
Kehidupan modern, juga menggeser pola hidup masyarakat, tidak terkecuali orang Betawi, penduduk asli Jakarta yang pada mulanya agamis sejak dari sono-nya, mulai terkikis larut dalam kehidupan modern. Seperti kita ketahui, sejarah Jakarta, dulunya dikenal sebagai salah satu pelabuhan bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Keraja Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Dalam perekmbangannya, pelabuhan ini kemudian bernama Jayakarta, sesudah Pangeran Jayakarta atau nama lainnya Pangeran Akhmad Jakerta, putra Ratu Bagus Angke atau Pangeran Hasanuddin, yaitu menantu Fatahillah.
Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas pelabuhan ini dari dari Fatahillah yang berhasil merebutnya pada Februari 1527 dari Kerajaan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis. Fatahillah kemudian mengganti namanya dari Sunda Kelapa menjadi Jayakerta atau Jayakarta. Nama itulah yang perlahan berubah menjadi Jakerta atau Jakarta pada 22 Juni 1527 dan sekarang dijadikan sebagai hari jadi Kota Jakarta. Pangeran Jayakarta menjadi penguasa kota Pelabuhan Jayakarta sekaligus wakil Kesultanan Banten.Nama Jayakarta kemudian diabadikan sebagai nama Komandi Daerah Militer (Kodam), yaitu Kodam Jayakarta, disingkat Kodam Jaya.
Tidaklah heran kalau dalam perkembangannya, penduduk Jakarta sebagaian besar beragama Islam, bahkan pada masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta, hampir seluruhnya memeluk Islam yang taat. Memang, dalam perkembangannya, agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalahIslam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %),Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %) Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%), pada tahun 1971 penganut agama Kong Hu Cu*
Ulama Bergerak
Merebaknya kemaksiatan di Indonesia, khususnya di Jakarta telah mendorong para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan masukan kepada pemerintah, sesuai dengan salah satu tugas MUI, yakni, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat. Upaya yang dilakukan MUI serta desakan ummat Islam, akhirnya Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.
Perpu yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 28 Maret 1981, itu terdiri dari 4 pasal, yang intinya, pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain. (2) lzin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981.
Berbicara tentang penghapusan judi, kita tidak bisa lupakan kegigihan ulama besar Betawi, yakni KH.Abdullah Syafi’i, pendiri Perguruan Assyafi’iyah di Kampung Bali Matraman yang wafat tanggal 3 September 1985 dan KH Tohir Rohili dari perguruan Attohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur yang bersama Buya Hamka menghadap Presiden Soeharto, sehingga akhirnya keluarlah Perpu penghapusan judi. Karena secara undang-undang (UU 7 Tahun 1974) perjudian dilarang diseluruh wilayah hukum Indonesia. Sementara Presiden Soeharto sendiri sedang membutuhkan dukungan ummat Islam untuk menghadapi Pemilu 1982.
Larangan segala bentuk perjudian bukan tidak mendapatkan perlawanan dari cukong-cukong besar. Karyawan dari lokasi besar judi dari kasino Jakarta Teater, Kasino Jaya Ancol dan di Surabaya serta lokasi lainnya dikerahkan untuk berdemo menolak, dengan alasan, penutupan lokasi judi telah menimbulkan gelombang pengangguran. Namun pemerintah tidak bergeming. Perjuangan para ulama generasi penerus untuk menentang perjudian dalam bentuk lain, yakni ketika lahir Porkas kemudian berubah jadi SDSB juga tak kalah gigihnya, judi yang berdalih untuk kepentingan sosial dan pembinaan olahraga itu akhirnya harus kandas, meski mendapat dukungan orang-orang kuat pada saat itu.
Kebun-kebun Surga
Larangan berbagai bentuk perjudian tidak serta merta kemaksiatan sirna dari bumi Indonesia, revormasi yang terjadi di Indonesia pada 1989 telah mengubah tatanan yang sudah mulai terbangun. Bentuk-bentuk kemaksiatan, seperti prostitusi dan perjudian muncul meski dengan bentuk lain baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Mengapa demikian, hal itu selain karena lemahnya penegakan hukum, karena bentuk kemaksiatan memang mengasyikkan. Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Penyebab utama timbulnya semua kemaksiatan baik yang besar maupun yang kecil ada tiga, yaitu:Pertama, keterkaitan hati kepada selain Allah. Kedua, menuruti dorongan amarah. Ketiga, menuruti dorongan syahwat. Keempat, kemaksiatan tersebut terwujud dalam perbuatan syirik, kezhaliman dan perbuatan-perbuatan keji lainnya.
Salah satu cara yang dilakukan para ulama, adalah menggencarkan da’wah. Sebab menda’wahkan Islam berarti mengajak umat manusia kepada aqidah tauhid, membimbing mereka ke jalan yang lurus dan menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat, serta mendapatkan keridlaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Setiap muslim diharapkan memiliki komitmen da’wah dalam menyebarkan agama ini sebagai rahmatan lil ‘alamin. Da’wah Islam ditujukan kepada sesama muslim dan juga kepada setiap orang yang tertarik untuk memeluk agama Islam. Sesuai dengan firman Allah SWT: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(QS 3:104, Ali ‘Imran).
Masjid dan mushala, sebagai rumah ibadah umat Islam, tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang terletak di Gambir. Sejumlah masjid penting lain adalah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Masjid Al Barkah di Bali Matraman, Masjid Pondok Indah, Masjid At Tin di Taman Mini, dan Masjid Sunda Kelapa, Masjid Cut Mutiah di Menteng, Masjid Luar Batang di Jakarta Utara dan masjid-masjid yang tersebar di setiap perkampungan, belum lagi masjid yang terdapat di perkantoran.
Dari masjid-masjid ini muncul kelompok pengajian ibu-ibu, bapak-bapak maupun para remaja yang tergabung dalam kelompok remaja Islam. Munculnya kelompok-kelompok pengajian atau majelis ta’lim yang bisa kita sebutkan sebagai kebun surga-kebun surga di Jakarta, tidak bisa dilepaskan peran sosok ulama perempuan atau mubalighah asal Betawi yang fenomenal seperti Hj. Tutty Alawiyah AS, Hj. Suryani Thahir dan Hj. Faizah Ali Syibromalisi. Bahkan, Hj. Tutty Alawiyah yang pernah menjabat sebagai menteri Peranan Wanita (1998-1999) berhasil menyatukan dan menghimpun “kebun surga-kebun surga” di Jakarta dalam wadah Badan Koordinasi Majelis Ta’lim (BKMT) yang berdiri pada tahun 1983.
Majelis ta’lim yang dimotori kaum ibu, memang bak kebun surga yang menumbuhsuburkankan serta merawat tanaman iman pada diri ibu-ibu sebagai tiang keluarga. Tidak bisa dilepaskan, adalah keberadaan masjid. Majelis ta’lim dan masjid menjadi sangat penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat modern di era iptek yang cenderung mengagungkan nilai-nilai materialisme. Salah satu asas pembangunan nasional adalah asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME yang berarti bahwa “Usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”.**
Sesuai dengan hakekat hidup manusia yang harus ada keseimbangan antara material dan spiritual, maka keberadaan masjid-masjid dan majelis ta’lim-majelis ta’lim, maka peran para pemuka agama Islam, mubaligh maupun mubalighah sejak dulu sudah terlibat dalam ikut serta membangun Jakarta. Oleh karena itu, ummat Islam patut mendukung upaya dari Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, membuat gebrakan dengan melontarkan gagasan untuk membangun Masjid Raya Betawi di wilayah Jakarta Barat pada tahun 2013, masjid dengan fasilitas lengkap yang dapat menampung banyak jama`ah, terutama di Jakarta Barat yang belum memiliki masjid agung.
Namun, selain membangun masjid raya tersebut, yang perlu menjadi perhatian Pemprov. DKI Jakarta adalah keberadaan masjid (termasuk musholla) di perkantoran, baik kantor pemerintah atau swasta. Hal ini dkarenakan Jakarta bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat bisnis di Indonesia yang setiap hari kerja, jutaan orang dari dalam Jakarta dan luar Jakarta beraktivitas di kantor-kantor milik pemerintah maupun swasta. Sebagai makhluk spiritual, dengan jam kerja yang cukup panjang, tentu ada kewajiban dan kebutuhan di luar pekerjaan yang harus dipenuhi oleh para pegawai, salah satunya adalah beribadah, untuk tetap menjaga keimanan dan ketaqwaannya.
Oleh : Adhi Wargono (Juara Kedua Lomba Penulisan Artikel JIC)












