MENELADANI ZUHUD NABI DI DUNIA MODERN

0
41

Oleh:

Ade Suhandi || Kasubdiv Penyiaran PPIJ dan Dosen Komunikasi

ZUHUD adalah salah satu nilai spiritual yang menonjol dalam tradisi Islam, sering dipahami sebagai sikap menjauh dari keterikatan berlebihan pada dunia untuk meraih ridha Allah. Nabi Muhammad ﷺ menjadi teladan tertinggi dalam praktik zuhud yang realistis dan kontekstual, bukan asketisme ekstrem. Artikel ini menganalisis konsep zuhud dalam Al-Qur’an, hadis, serta pandangan ulama klasik, sekaligus membahas tantangan dan relevansi zuhud di era modern yang sarat konsumerisme dan hedonisme. Artikel ini juga menawarkan pendekatan aplikatif untuk meneladani zuhud Nabi ﷺ dalam kehidupan kontemporer.

Modernitas menghadirkan kemajuan teknologi dan kemudahan hidup, tetapi juga menumbuhkan budaya konsumtif, materialistik, dan individualistik. Hedonisme modern menilai kebahagiaan dari kepemilikan dan kepuasan instan.

Dalam konteks ini, zuhud bukanlah ajaran kuno yang ketinggalan zaman, melainkan prinsip spiritual yang sangat relevan untuk menata ulang relasi manusia dengan dunia. Nabi Muhammad ﷺ menjadi contoh sempurna bagaimana hidup sederhana tidak menghambat produktivitas sosial, melainkan memperdalam keikhlasan dan solidaritas.

Penelitian etika Islam modern (Abdullah, 2021) menekankan bahwa zuhud yang benar bukan meninggalkan dunia, melainkan menempatkan dunia pada tempatnya.

Konsep Zuhud dalam Al-Qur’an dan Hadis

  1. Definisi Bahasa dan Syariat

Secara bahasa, zuhud berarti “meninggalkan sesuatu karena dianggap rendah nilainya dibanding sesuatu yang lebih mulia.”

Ibn Rajab al-Hanbali mendefinisikan zuhud sebagai:

“Meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat.”

Imam Ahmad berkata:

“Zuhud bukan berarti haramkan yang halal atau membuang harta, tetapi mengurangi ketergantungan pada dunia.”

  1. Fondasi Al-Qur’an

“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96)

“Janganlah engkau palingkan matamu kepada kenikmatan dunia yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan.” (QS. Taha: 131)

  1. Hadis Nabi ﷺ

“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.” (HR. Bukhari)

“Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta, tetapi kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Zuhud di dunia bukan mengharamkan yang halal atau membuang harta, tetapi tidak terlalu yakin pada apa yang di tanganmu, dan lebih yakin pada apa yang di sisi Allah.” (HR. Ahmad)

 

Telaah Ulama Klasik tentang Zuhud

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din:

Zuhud adalah memutus keterikatan hati pada dunia, bukan meninggalkan dunia secara fisik.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah:

Zuhud bukan melarang rezeki atau nikmat, tetapi menjadikan dunia di tangan, bukan di hati.

Ibn Rajab al-Hanbali:

Zuhud memiliki tingkat: meninggalkan haram, meninggalkan syubhat, meninggalkan yang berlebihan, dan meninggalkan yang menyibukkan dari Allah.

 

Teladan Zuhud Nabi Muhammad

  • Hidup sederhana: tidur di atas tikar kasar, makanan sederhana.
  • Tetapi tetap produktif: memimpin negara, berdagang, membangun masyarakat.
  • Menggunakan harta untuk maslahat umat: sedekah, jihad, dakwah.
  • Tidak menimbun harta: bersabda “Aku tidak suka menyimpan emas dan perak.”
  • Memberi walau kekurangan: membagikan harta rampasan perang, hadiah.
  • Menolak dunia jika menjauhkan dari Allah: “Apa hubunganku dengan dunia? Aku di dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)

 

Zuhud Bukan Askese Ekstrem

Islam menolak rahbaniyah (asketisme yang memutus diri dari dunia):

“Katakanlah: Siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32)

Nabi ﷺ menikah, berdagang, memimpin perang.

Melarang sahabat berpuasa terus-menerus atau tidak menikah.

Inti Zuhud: Menguasai dunia, bukan dikuasai dunia.

Kontekstualisasi Zuhud di Era Modern

> Tantangan:

Budaya konsumerisme → belanja impulsif, menumpuk barang.

Hedonisme digital → FOMO, pencitraan media sosial.

Kapitalisme → menilai orang dari harta.

Kesenjangan sosial → memicu gaya hidup kompetitif.

 

> Relevansi Zuhud:

Mengajarkan prioritas → akhirat di atas dunia.

Mengendalikan hawa nafsu → menolak iklan dan tren tanpa seleksi.

Memupuk empati → lebih peka pada kemiskinan dan kebutuhan sosial.

Mengurangi stres → tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain.

 

Zuhud dan Keadilan Sosial

Ulama kontemporer (Fadlullah, 2018) menekankan bahwa zuhud bukan hanya etika personal, tetapi juga etika sosial:

  • Menghindari pemborosan yang merugikan lingkungan.
  • Membuka peluang sedekah dan redistribusi.
  • Mengurangi jurang kaya-miskin melalui gaya hidup sederhana.
  • Menolak budaya gengsi yang menindas kelas bawah.

Strategi Meneladani Zuhud Nabi di Dunia Modern

1. Muhasabah Konsumsi

Bedakan kebutuhan dan keinginan.

Latihan menahan diri dari tren konsumtif.

2. Sederhana dalam Penampilan

Tidak pamer barang mewah.

Menjaga niat agar tidak riya’.

3. Dermawan dalam Rezeki

Sisihkan penghasilan untuk sedekah.

Mendukung gerakan sosial.

4. Menghargai Waktu dan Fokus pada Akhirat

Mengurangi distraksi digital.

Melatih tafakur dan zikir.

5. Edukasi Keluarga

Menanamkan nilai syukur dan kesederhanaan pada anak.

Membiasakan berbagi dan tidak rakus.

6. Aktivisme Sosial

Membantu lingkungan yang kurang mampu.

Mengadvokasi kebijakan ekonomi yang adil.

 

Kesimpulan

Zuhud bukan penolakan terhadap dunia, melainkan pengelolaan hati agar tidak dikuasai dunia. Nabi Muhammad ﷺ meneladankan zuhud kontekstual yang seimbang: hidup sederhana, produktif, dan peduli sosial.

Dalam era modern yang sarat konsumerisme dan distraksi digital, zuhud menjadi prinsip etika yang membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu dan tren. Meneladani zuhud Nabi berarti membangun pribadi yang merdeka, empatik, dan orientasi akhirat, sehingga kehidupan dunia menjadi jalan menuju ridha Allah SWT

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen + four =