JIC- Syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang diambil dari piutang dan mengistilahkannya dengan riba. Para ulama telah menyatakan dalam kaidah yang sangat penting yaitu:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap pinjaman (qardh) yang mendatangkan manfaat atau keuntungan, maka itu adalah riba.” (Kitab Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah dan Kitab asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin).
Kaidah tersebut sesuai dengan ucapan shahabat yang mulia yaitu Fudholah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu yaitu:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullahu Ta’ala. Demikian pula ucapan senada juga berasal dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum.)
Ada pertanyaan yang sangat urgent yaitu: “Apakah semua manfaat atau keuntungan adalah Riba?” Pertanyaan ini sangat penting sehingga kita tidak salah menghukumi sesuatu itu riba atau tidak.
Syarat tambahan dari pemberi utang adalah Riba
Semua syarat yang disyaratkan oleh pemberi utang kepada orang yang berutang dalam utang piutang adalah hukum asalnya adalah haram baik tunai maupun non tunai. Sebaliknya, syarat yang menguntungkan pihak yang berutang hukum asalnya adalah boleh.
Bila ada syarat yang menguntungkan pemberi utang, maka orang yang berutang haram untuk menyetujuinya. Menyetujui syarat ini termasuk dalam kategori saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al Maidah ayat 2
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….”
Terdapat sebuah hadits shahih yang berbunyi: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Bagaimana dengan konteks hadits ini, dimana orang yang beriman wajib melazimi syarat-syarat disepakati di antara mereka, sebagaimana hadits tersebut sehingga ada sebagian yang berpendapat bahwa bila sudah dibuat syarat dan disepakati maka mengingat semua pihak yang berakad, tidak terkecuali pihak yang berutang.
Iya memang benar bahwa bila seseorang telah melakukan akad maka itu mengikat semua pihak asalkan tidak terdapat syarat yang bertentangan dengan syariat Islam. Karena dalam hal ini, syarat yang diajukan pemberi pinjaman termasuk kategori syarat yang menghalalkan yang haram, karena utang piutang (pinjam meminjam) dibangun atas dasar kasih sayang dan berbuat baik kepada orang yang berutang. Sehingga apabila ada syarat yang menguntungkan pemberi utang maka termasuk dalam kategori permintaan ganti. Jika masuk ke dalam kategori permintaan ganti (‘iwadh) maka mengandung riba dayn yang diharamkan.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang disepakati para ulama dan telah dijelaskan sebelumnya, yaitu “Semua utang piutang yang mengambil suatu keuntungan adalah riba.”
Bagaimana bila tidak disyaratkan oleh pemberi utang?
Bila utang piutang memberikan suatu keuntungan kepada pemberi utang, sedangkan dia tidak mengajukan syarat maka hal ini adalah tidak haram.
Contohnya: seseorang yang memiliki sebidang tanah dimana dia mengadakan akad muzara’ah dengan penggarap sawah. Selanjutnya datang penggarap sawah dan mengatakan, “Saat ini saya tidak memiliki ternak-ternak yang dapat saya gunakan untuk membajak sawah.” Pemilik tanah berkata, “Saya mengutangkan kepadamu seekor ternak yang kamu dapat membajak sawah dengannya.”
Dalam contoh kasus tersebut ada keuntungan bagi pemberi utang, yaitu kesuburan tanahnya dipenuhi dengan banyak tanaman dan akan memperoleh bagiannya yang sudah disepakati dengan penggarap sawah. Di sini, pemberi utang memperoleh keuntungan dalam utangnya tanpa ada syarat yang ditentukan di muka.
Selain itu, dari sisi penerima utang (muqtaridh) juga memperoleh keuntungan atau manfaat dengan hasil sawah yang baik juga. Maka bila tidak disyaratkan oleh pemberi utang maka keuntungan tersebut adalah dibolehkan, dan dalam kasus tersebut terdapat dua pihak yang sama-sama memperoleh keuntungan, yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Riba dayn diharamkan meskipun kadar tambahannya sedikit
Berbeda dengan gharar yang dibolehkan bila sedikit dan ada hajat, riba dayn dilarang secara mutlak meskipun sedikit. Beberapa perkataan ulama mengenai masalah ini:
Al Baji dalam Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ berkata, “Membuat persyaratan pertambahan dalam utang adalah riba, meskipun sedikit. Dan tidak ada perbedaan pendapat para ulama bahwa setiap pertambahan utang itu adalah riba.”
Ibnu Qudamah dalam Al Fatawa Al Iqtishadiyyah berkata, “Riba diharamkan, baik jumlah ribanya banyak maupun sedikit.”
Riba Dayn diharamkan karena maqashid syariah
Riba dayn dilarang kecuali dalam keadaan darurat, tidak cukup hanya karena sebuah hajat. Dalam konteks sini, riba dayn baru boleh dilakukan dalam rangka untuk mengangkat sebuah darurat.
Keadaan darurat yaitu keadaan yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya salah satu dari tujuan syariah yang dikenal dengan maqashid syariah, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan.
Riba dayn diharamkan atas asas maqashid (tujuan) dan bukan diharamkan atas dasar tahrim wasail (wasilah yang mengantarkan kepada sesuatu yang diharamkan). Sehingga sebuah kebutuhan yang tidak masuk pada kategori darurat tidak dapat memberi dampak terhadap hukum asal haramnya jenis ini. Keadaan darurat terpenuhi bila: (1) tidak dilakukan akan binasa atau hampir binasa; (2) tidak ada pilihan lain; dan (3) kadar haram yang dibolehkan sebatas menghilangkan kondisi daruratnya.
Ibnu Arabi (wafat th 453H) berkata dalam Kitabnya ‘Aridhatul Ahwadzi Bisyarah Shahih Tarmidzi
إذا نهي عن شيء بعينه لم تؤثر فيه الحاجة
“Apabila sesuatu diharamkan karena zatnya maka sebuah hajat tidak berpengaruh terhadap hukum haramnya. Dan apabila diharamkan karena tujuan lain (bukan zatnya) maka hajat dapat mengubah hukum keharamannya.”
Kecuali darurat dapat membolehkan riba dayn berdasarkan firman Allah dalam QS Al An’aam ayat 119
وَقَدۡ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ إِلَّا مَا ٱضۡطُرِرۡتُمۡ إِلَيۡهِۗ
“…. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,
لكنا ما حرم للذريعة يجوز للحاجة كالعرية
“Akan tetapi, sesuatu yang diharamkan untuk menutup celah keharaman. Dibolehkan bila terdapat hajat, seperti bai’ ‘Araya.”
Bolehnya bay ‘aroya karena adanya hajah
Salah satu jual beli yang dilarang dalam rangka menutup celah keharaman dibolehkan bila adanya hajat atau kebutuhan adalah Bai ‘Aroya. Bai’ ‘Araya yaitu menukar kurma kering yang dapat ditakar dengan kurma segar yang masih berada di pohon. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Haitsamah radhiyallahu anhu:
Bai’ ‘Araya dibolehkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk hajat fakir miskin yang menginginkan makan kurma segar yang masih di pohon. Keingingan fakir miskin tersebut belum sampai pada tahap darurat yang berakibat hilangnya salah satu dari lima hal pokok pada diri seorang manusia. Fakir miskin hanya akan bersedih bila berlalu musim panen kurma dan mereka belum merasakan manisnya kurma segar. Kesedihan jiwa kaum miskin ini hanyalah sebatas hajat dan bukan darurat.
Penggabungan akad pinjaman dan jual beli dilarang karena dzari’ah (menutup celah keharaman)
Rasulullah bersabda,
لا يحل سلف و بيع
“Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli.” (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan shahih).
Berdasarkan hadis ini maka AAOIFI dalam panduan lembaga keuangan syariah menjelaskan:
Mikyar (19) tentang Qardh, ayat (7) yang berbunyi, “Lembaga keuangan syariah tidak dibolehkan mensyaratkan akad ba’i (jual-beli), akad ijarah (sewa), atau akad mu’awadhah lainnya yang digabung dengan akad qardh. Karena dalam jual/sewa, biasanya, pihak debitur sering menerima harga di atas harga pasar dan ini merupakan sarana untuk terjadinya riba (pinjaman yang mendatangkan keuntungan bagi kreditur)”.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa penggabungan akad qardh dan ijarah diharamkan untuk menutup celah terjadinya riba dimana pemberi pinjaman sangat dimungkinkan mendapat keuntungan dari akad ijarah.
Ditulis oleh:
Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA
(Narasumber Radio JIC, Associate Professor Universitas Hayam Wuruk Perbanas, Penulis Buku dan Peneliti Akuntansi Syariah, Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Jatim Bidang Akuntansi Syariah)
[…] post SEPUTAR KEUNTUNGAN DALAM RIBA DAYN DAN PENGGABUNGAN AKAD appeared first on Jakarta Islamic […]