Oleh:
Ade Suhandi || Kasubdiv Penyiaran PPIJ dan Dosen Komunikasi

ZIKIR —praktik spiritual utama dalam Islam—berperan penting dalam membentuk ketenangan jiwa dan koneksi transendental dengan Allah SWT. Di tengah era digital yang ditandai dengan kecemasan, distraksi, dan overload informasi, zikir menemukan kembali relevansinya sebagai sarana penyeimbang ruhani dan stabilisator psikis. Artikel ini mengeksplorasi konsep zikir dalam Al-Qur’an dan hadis, pandangan ulama klasik, serta mengkaji efektivitas zikir dari perspektif ilmu psikologi dan neurofisiologi. Disorot pula tantangan spiritual dalam era digital serta strategi membumikan kembali zikir dalam kehidupan modern.
Era digital menjanjikan konektivitas tanpa batas, tetapi ironisnya juga menciptakan jarak antara manusia dan dirinya sendiri. Krisis perhatian, gangguan kecemasan, burnout, dan kesepian menjadi epidemi baru dalam masyarakat yang terus terhubung secara daring, namun kehilangan keheningan batin.
Zikir, dalam tradisi Islam, bukan sekadar lafaz lisan, tetapi aktivitas ruhani yang menyatukan akal, hati, dan jiwa untuk menyadari kehadiran Allah secara terus-menerus (hudhur ma’a Allah). Dalam konteks ini, zikir berpotensi menjadi obat jiwa yang sangat relevan bagi masyarakat digital yang kelelahan secara mental dan spiritual.
Penelitian psikologi spiritual kontemporer (Azhar & Malik, 2022) menunjukkan bahwa praktik zikir teratur menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan subjektif.
Definisi Zikir dalam Islam
Kata zikir (ذِكر) secara bahasa berarti “menyebut, mengingat, atau menyadari.” Dalam konteks syariat, zikir mencakup segala bentuk mengingat Allah, baik melalui lisan, hati, maupun tindakan.
Imam an-Nawawi mendefinisikan zikir sebagai:
“Segala ucapan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT, termasuk tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, membaca Al-Qur’an, dan doa.” (Al-Adzkar)
Fondasi Qur’ani dan Hadis tentang Zikir
Al-Qur’an secara eksplisit mengaitkan zikir dengan ketenangan batin:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Hadis Nabi ﷺ:
“Perumpamaan orang yang berzikir dengan yang tidak berzikir seperti orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Maukah kalian aku beritahu amalan yang paling baik, paling suci di sisi Tuhan kalian, paling tinggi derajatnya…? Itu adalah zikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Jenis-jenis Zikir
Zikir Qalbi – mengingat Allah dalam hati (kontemplasi, tafakur).
Zikir Lisani – menyebut nama Allah dengan lisan (tasbih, tahlil, tahmid).
Zikir ‘Amali – menjadikan seluruh amal sebagai bentuk kesadaran akan Allah.
Ibn Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib menyebut bahwa zikir adalah “kekuatan ruhani yang dapat menggantikan segalanya, namun tidak ada yang bisa menggantikan zikir.”
Zikir sebagai Terapi Jiwa
- Dampak Psikologis
Penelitian psikologi Islam dan neuroscience modern menunjukkan bahwa zikir:
- Menurunkan hormon kortisol (pemicu stres)
- Mengaktifkan gelombang otak theta dan alpha (relaksasi)
- Meningkatkan fokus dan kejernihan mental
- Membantu mengatasi kecemasan dan depresi ringan
(Khan & Rahman, 2021) mencatat bahwa peserta yang rutin melakukan zikir harian mengalami peningkatan resilience dan kepuasan hidup.
- Dampak Spiritual
- Menguatkan hubungan vertikal dengan Allah
- Menumbuhkan rasa syukur dan tawakkal
- Menjaga kebersihan batin dari riya’, iri, dan marah
- Menjadi pengingat konstan atas tujuan hidup
Krisis Jiwa dalam Era Digital
Tantangan yang Muncul:
- Overstimulasi: Paparan informasi tanpa henti menumpulkan ketajaman ruhani.
- Distraksi permanen: Sulit khusyuk dan fokus karena notifikasi yang terus hadir.
- Kecanduan media sosial: Melemahkan kepekaan spiritual.
- Loneliness paradox: Banyak koneksi virtual, tetapi sedikit koneksi batin.
- Burnout spiritual: Rutinitas ibadah tanpa ruh kekhusyukan.
Menurut Sherry Turkle (2015), manusia kini “selalu terhubung, tapi makin kesepian.” Inilah kondisi yang membutuhkan healing ruhani melalui praktik zikir.
Telaah Ulama Klasik
Imam Al-Ghazali:
Dalam Ihya’ Ulum ad-Din, ia menulis:
“Zikir adalah benih makrifat. Ia mengantar kepada cinta, dan cinta akan melahirkan kemauan untuk taat.”
Ibn Taymiyyah:
“Zikir bagi hati seperti air bagi ikan. Apa jadinya ikan tanpa air?”
Imam Hasan al-Bashri:
“Carilah kelembutan hati dalam tiga tempat: saat membaca Al-Qur’an, saat berzikir, dan saat sujud. Jika tidak menemukannya, maka ketahuilah bahwa hatimu telah mengeras.”
Revitalisasi Zikir dalam Dunia Digital
Langkah-langkah Praktis:
- Zikir terjadwal – pasca shalat, sebelum tidur, dan saat senggang.
- Gunakan teknologi untuk kebaikan – aplikasi pengingat zikir harian.
- Detoks digital – waktu tanpa gawai untuk perenungan dan dzikir.
- Tafakur saat scrolling – mengingat Allah saat berselancar di dunia maya.
- Gabungkan zikir dan aktivitas fisik – seperti berjalan sambil bertasbih (dzikir dinamis).
Zikir sebagai Kekuatan Komunitas
Zikir bukan hanya ibadah personal, tetapi juga sosial.
- Majelis zikir menciptakan koneksi ruhani kolektif.
- Membangun suasana spiritual di lingkungan digital dan sosial.
- Menjadi sarana pemurnian komunitas dari hasad, ghibah, dan permusuhan.
Studi oleh Hasan & Fauzi (2022) menunjukkan bahwa komunitas Muslim yang aktif dalam zikir bersama mengalami peningkatan kepuasan hidup dan solidaritas sosial yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Zikir dalam Islam bukan sekadar lafaz, tetapi jalan menuju ketenangan dan kedekatan dengan Allah SWT. Di era digital yang penuh dengan kebisingan dan kecemasan, zikir menjadi alternatif spiritual yang relevan dan efektif untuk menyembuhkan jiwa.
Revitalisasi zikir membutuhkan kesadaran, pembiasaan, serta strategi integratif dengan teknologi. Zikir bukanlah aktivitas kuno, tetapi kebutuhan mendesak manusia modern untuk kembali menemukan pusat dirinya: Allah.











