Mengkritik untuk Beribadah
JIC,– Mengkritik dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat mengamalkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, di antaranya,
- Surat Ali ‘Imran (3): 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
- Surat Ali ‘Imran (3): 110
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam surat al-Ahzab (33): 31
.”Sesungguhnya, telada ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang berharap(rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dengan demikian, semestinya dalam hal mengkritik pun beliau harus dijadikan sebagai teladan. Banyak contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Banyak ayat Alquran yang harus dijadikan rujukan agar dapat mengkritik dengan tujuan beribadah. Di antara ayat-ayat itu adalah:
- Surat an-Nahl (16): 125
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
- Surat al-Ahzab (33): 70
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
Hamka menafsirkan ayat tersebut di dalam Tafsir Al-Azhar sebagai peringatan kepada orang-orang beriman agar memilih kata yang tegas, tepat, jitu, dan jujur ketika berbicara. Baru dikatakan iman dan takwanya tumbuh dan berkembang jika mereka berbicara dengan kata-kata yang maknanya tersimpan dalam hatinya. Kata-kata yang berasal dari dorongan hati tidak menyakiti Allah dan Nabi-Nabi, baik Nabi Musa maupun Nabi Muhummad.
- Surat al-Baqarah (2): 83
“Dan ucapkanlah kepada manusia kata-kata yang baik.”
Berbicara yang baik di dalam ayat tersebut dijelaskan oleh Hamka dalam Tafsir Al–Azhar, tidak berarti bermulut manis. Berbicara yang baik lebih luas cakupannya. Di dalamnya ada menasihati orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan menegur orang yang melakukan kesalahan. Jika tampak terang-benderang ada kesalahan, tidak membiarkannya. Orang yang mempunyai pengalaman baik, mengajari orang yang memerlukannya. Orang yang sedikit ilmu, mau belajar pada orang berilmu dengan bertanya
- al-Isra’ (17): 36
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Sementara itu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini harus dijadikan rujukan pula.
- HR al-Bukhari dan Muslim
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
- HR Ahmad
“Tidaklah iman seseorang itu menjadi lurus hingga lurus hatinya. Tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya.”
- HR Muslim
“Barangsiapa sudah terhalang kelemahlembutannya, berarti dia sudah terhalang kebaikannya, atau barangsiapa lagi terhalang kelemahlembutannya, berarti dia lagi terhalang kebaikannya.”
- HR al-Bukhari
“Seoang muslim adalah orang yang membuat kaum muslim merasa aman dari (gangguan) lisan dan tangannya.”
Dengan memahami kembali ayat dan hadis tersebut, dapat diketahui bahwa semua pemberian Allah Subhaanahu wa Ta’aala harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, semua organ yang digunakan untuk berbicara, menulis, mendengarkan, memirsa, membaca, berjalan, dan melakukan tindakan-tindakan yang lain, dan di antara tindakan-tindakan itu adalah mengkritik,harus bernilai ibadah. Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadis yang dikutip tersebut menjadi rujukan untuk mengkritik agar bernilai ibadah.
Sumber : suaramuhammadiyah.id