Oleh : Riana Garniati Rahayu
JIC – “DULU, jumlah santri disini bisa mencapai ratusan orang,” begitu kata suami saya ketika menceritakan pondok pesantren yang dikelola oleh keluarganya. Saat itu adalah pertama kali kami mudik ke kampung halamannya di Blitar.
“Makin kesini, semakin jarang orang yang berminat untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren. Mereka lebih memilih putus sekolah lalu membantu orang tuanya bekerja,” sambungnya lagi.
Pondok pesantren yang suami saya maksud adalah pondok sederhana di desa Jatinom, Blitar. Jumlah santri saat itu “hanya” sekitar 50 orang yang sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu. Dari 7 saudara suami yang lain, keluarga besar sepakat untuk memasrahkan pondok di masa yang akan datang kepada kakak nomor 3. Ia adalah Mas Zaka, dan istrinya mbak Laily yang seorang penghafal qur’an.
Tak disangka, Mas Zaka dan Mbak Laily kemudian membuat terobosan dengan membuka SMP Islam berasrama secara gratis dengan bantuan para donatur. Angkatan pertamanya berjumlah 22 anak tak mampu yang sebagian besar berasal dari kaki gunung kidul. Anak-anak yang bahkan datang ke pondok kami hanya dengan dua helai baju yang sudah robek disana-sini.
Kepulangan saya kembali ke Blitar setelahnya ternyata bertepatan dengan minggu pertama dimulainya kegiatan SMP. Kegiatan SMP baru dimulai beberapa hari yang lalu, tertinggal dua minggu dari jadwal resmi Dinas Pendidikan. Apa boleh buat, sarana dan prasarananya belum siap saat itu.
Malam itu, saya mengobrol santai dengan Mbak Laily di pendopo rumah.
”Dik, ternyata anak-anak perempuan itu lebih kuat ya daripada anak laki-laki,” begitu Mbak Laily membuka percakapan kami. (Bersambung…)
Sumber: Muslimah Inspiring Stories
Pusat data JIC












