Oleh: Riana Garniati Rahayu
JIC – Malam itu, saya mengobrol santai dengan Mbak Laily di pendopo rumah.
”Dik, ternyata anak-anak perempuan itu lebih kuat ya daripada anak laki-laki,” begitu Mbak Laily membuka percakapan kami.
”Oya, memangnya kenapa mbak?” tanya saya.
“Kemarin sore, ada 4 anak laki-laki yang menangis. Katanya kangen sama ibunya. Mereka khawatir, siapa yang jaga ibunya. Siapa yang bantu ibunya,” Mbak Laily menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.
“Barusan juga masih ada yang nangis lagi, katanya masih kangen sama ibunya. Minta dipeluk, ya sudah kupeluk. Di lain sisi, aku seneng karena mereka sudah menganggap aku seperti ibunya.”
Sungguh, saya tak bisa membayangkan apa saya sanggup berada dalam situasi seperti itu.
“Namanya Hamim, anak yang kemarin sore mengkhawatirkan siapa yang akan nemenin ibunya cari kayu bakar,” kata Mbak Laily lagi.
Ah, dia rupanya. Bocah laki-laki yang sering saya temukan termenung sendiri di pojok kelas. Menyepi ketika teman-temannya asik menonton film. Atau menyendiri di luar ketika teman-temannya asyik mengikuti senam bersama.
Tahun pun berganti. Tiap kali kami mudik ke Blitar dan bertemu Mbak Laily, selalu ada berita gembira yang disampaikannya.
“Dik, alhamdulillah kemarin ada yang menyumbang rice cooker besar untuk di dapur.”
“Seragamnya sekarang sudah nambah Dik, ada yang buat olah raga juga.”
“Pendapatan dari warung sekolah lumayan lah Dik, daripada anak-anak jajan di luar.”
“Insya Allah tahun depan mau buka SMA juga, Dik. Kasihan anak-anak yang lulus SMP kemarin juga bingung mau melanjutkan kemana. Doakan ya, Dik.”
“Ini rencananya mau menambah kelas Dik, biar anak-anak nggak belajar di luar terus.”
Sampai akhirnya tahun ini, ”Dik, alhamdulillah jumlah murid SMP dan SMA sekarang totalnya sudah 400 orang.” Alhamdulillah!
Lalu sejurus kemudian, saya teringat kembali dengan Hamim. Sudah 6 tahun berlalu, apa kabarnya bocah laki-laki itu?
”Oh, Hamim?” kata Mbak Laily sambil tertawa kecil. ”Hamim sudah lulus SMA, Dik. Sekarang bantu ngawasi adik-adiknya disini,” sambungnya lagi dengan raut wajah bahagia. Raut wajah tulus dari seorang ibu.
”Assalaamu’alaikum Ummi,” sapa sekelompok santri putri yang melintas di depan kami. Dia lah Ummi Laily, yang mengubah tangis menjadi tawa, yang memberi peluk saat hati nestapa, yang memberi naungan saat asa hampir putus berharap. Ada 400 anak disini, dan semua memanggilnya Ummi. ***
Sumber: Muslimah Inspiring Stories
Pusat data JIC