JIC — Sejarah membuktikan, peradaban Islam meletakkan keluarga sebagai fondasi bagi tegaknya peradaban. Ini setidaknya, begitu tergambar dari keteladanan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Rasulullah adalah contoh sebaik-baik kepala keluarga yang benar-benar mempertahankan rumah tangga dan peduli terhadap anak dan istri.
Nizar Abazhah dalam “Bilik-Bilik Cinta Muhammad” mengatakan sebenarnya, bagi yang diberi kemudahan oleh Allah, membangun rumah tangga harmonis tidaklah sulit.
Cukup mendasarkan segala urusan rumah tangga pada apa yang diteladankan Nabi Muhammad SAW, meniru dan mengikuti jejak beliau. Juga menapaki jalan kebahagiaan yang ditunjukkan dengan cemerlang oleh beliau bersama semua istri dengan segala kecenderungan, lingkungan, dan pola pendidikan mereka yang beragam.
Kita semua belajar bagaimana Rasulullah menangani setiap persoalan yang mencemari cuaca jernih rumah tangga dengan sikap bijak, lembut, dan penuh toleransi.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” menjelaskan, di antara akhlak Rasulullah ialah bahwa beliau bergaul dengan baik, bermuka manis, mencumbui istrinya, bersikap lembut terhadap mereka, melonggarkan infak untuk mereka, dan tertawa kepada istrinya, bahkan dia pernah mengalah dalam balap lari guna menyenangkan Aisyah.
Setiap malam, beliau mengumpulkan seluruh istrinya di rumah istri yang menjadi giliran beliau untuk menginap. Kadang-kadang beliau makan malam bersama mereka. Kemudian, para istrinya itu kembali ke rumahnya masing-masing. Apabila beliau telah shalat isya dan masuk rumah, sebelum tidur beliau mengobrol sejenak bersama istrinya guna menyenangkan mereka.
Ahmad Rofi Usmani dalam “Mutiara Akhlak Rasulullah” menjelaskan, Hari itu Hari Asyura, 10 Muharam. Rasulullah kala itu sedang berada di rumah seorang istri tercintanya, Aisyah putri pasangan Abu Bakar Al-Siddiq dan Ummu Ruman binti Umair bin Amir.
Tiba-tiba mereka berdua mendengar suara orang-orang Habasyah dan lainnya. Ternyata mereka sedang menampilkan suatu permainan dalam menyambut hari Asyura.
Melihat hal itu, Rasulullah berkata kepada sang istri tercinta yang acap beliau panggil dengan sebutan Humaira (perempuan Belia yang kemerah-merahan) karena kulitnya berwarna kemerah-merahan.
“Wahai istriku!Sukakah engkau melihat permainan mereka?”. “Ya, suka!” jawab sang istri yang namanya mencuat karena keterlibatannya dalam Perang Unta yang terjadi di dekat Basrah pada Jumat, 10 Jumadil Akhir 36 H bersama Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Thalhah bin ‘Ubaidullah.
Oleh karena itu, Rasulullah lantas menyuruh rombongan orang-orang Habasyah dan lainnya itu datang ke rumah beliau. Mereka pun dengan gembira memenuhi permintaan beliau.
Beliau lantas berdiri di antara dua pintu, kemudian menjulurkan tangannya kepada Aisyah. Adapun sang istri tercinta meletakkan tangannya di atas tangan beliau.
Rasulullah kemudian memberi isyarat kepada rombongan orang-orang Habasyah itu untuk mengakhiri permainan yang mereka tampilkan, dan mereka pun pergi. Kemudian beliau bersabda, “Orang beriman yang paling sempurna imannya ialah yang perilakunya paling baik dan santun kepada istrinya.”
Sikap teladan Rasulullah dalam membina keluarga juga dilakukan oleh sahabat beliau. Salah satunya Umar bin Khattab. Alkisah, pada suatu hari seorang lelaki datang ke rumah Umar bin Khattab hendak mengadukan keburukan akhalak istrinya.
Namun, setiba disamping rumahnya, ia mendengar istri Umar bin Khattab mengeluarkan kata-kata yang keras dan kasar kepada suaminya, sementara Umar tidak menjawab sepatah kata pun. Akhirnya, orang itu berpikir, sebaiknya dia membatalkan niatnya.
Ketika orang itu hendak berbalik pulang, Umar baru saja keluar dari pintu rumahnya. Umar segera berteriak memanggil orang itu. Umar langsung berkata kepadanya, “Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita yang penting.”
Orang itu lalu berkata terus terang, “Ya, sahabat Umar bin Khattab, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak istriku terhadapku. Akan tetapi, setelah aku mendengar kelancangan istrimu tadi kepadamu, dan sikap diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk melaporkan hal itu.
Mendengar perkataan yang jujur itu, Umar tersenyum kecil seraya berkata, “Wahai saudaraku, istriku telah memasakkan makanan untukku. Dia juga telah mencuci pakaianku, mengurus urusan rumahku, dan mengasuh anak-anaku dengan tiada hentinya.
Maka itu, bila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita mengenangnya, sedang kebaikan-kebaikannya kita lupakan. Ketahuilah, wahai saudaraku, antara kami dan dia hanya ada dua hal. Kalau kami tidak meninggalkannya dan terbebas dari perangainya, dia akan meninggalkan kami dan terbebas dari perangai kami pula. Begitulah cara Umar bersabar dengan istrinya.
Ada juga kisah Ali bin Abi Thalib yang mencoba membahagiakan istrinya. Ka’b al-Akhbar berkata, ketika Fatimah putri Rasulullah sekaligus istri Ali jatuh sakit, ia ditanya oleh suaminya, “Ya Fatimah, engkau ingin buah apa? Jawabnya, “Aku ingin buah delima.” Ali pun tertegun sejenak sebab tiada uang sepeser pun baginya.
Namun, ia segera pergi berupaya meminjam uang sedirham, lalu pergi ke pasar membeli buah delima. Di tengah perjalanan pulang, terlihat seseorang yang jatuh sakit tergeletak di pinggir jalan maka Ali pun berhenti dan bertanya, “Hai orang tua apa yang dinginkan hatimu?” jawabnya, “Ya Ali, sejak lima hari aku tergeletak di tempat ini, banyak manusia lalu lalang di tempat ini, tiada seorang pun yang acuh padaku, padahal hatiku tergiur pada buah delima.”
Maka Ali pun diam sejenak, kata hatinya, sebuah delima ini sengaja kubeli untuk istriku (fathimah), kalau kuberikan pada orang ini Fathimah pasti kecewa, tetapi jika tidak kuberikan berarti aku tidak menepati firman Allah SWT.
Kemudian, delima itu pun dibelah menjadi dua, separuhnya diberikan kepada orang tua itu, dan langsung sembuh, separuh lainnya untuk Fathimah, agar ia pun segera sembuh dari sakitnya.
Sesampainya di rumah, Ali malu disambut oleh Fathimah yang merangkul dan mendekapnya seraya berkata, “Sedihkah anda, demi Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, ketika engkau ulurkan tangan dan memberikan buah delima kepada orang tua itu maka puaslah hatiku dan lenyaplah keinginanku pada buah delima itu, dan Ali pun sangat gembira dengan penuturan istrinya itu.”