REVOLUSI PERTANIAN DUNIA ISLAM

0
583

JIC, JAKARTA — Setelah berhasil menancapkan kekuasaan di tiga benua Asia, Afrika dan Eropa pada abad ke-8 M, peradaban Islam mampu melakukan sebuah revolusi yang sangat hebat. Perubahan yang dilakukan peradaban Islam itu dikenal sebagai ‘’Revolusi Hijau’‘ atau ‘’Revolusi Pertanian’‘. Saat itu, umat Islam berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian.

Revolusi yang dimulai dari bagian paling timur dunia Islam itu meluas ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pada abad ke-11 M, ‘’Revolusi Hijau’‘ mampu memberi dampak positif bagi seluruh aspel kehidupan. Revolusi ini berdampak besar pada produksi pertanian, kependudukan, pertumbuhan kota, distribusi tenaga kerja, industri, pakaian, makanan, masakan dan yang lainnya.

‘’Salah satu aspek penting dari revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru ke dunia Islam,’‘ papar Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History. Sejak itu, dunia Islam mengenal tanaman seperti, padi, sorghum (sejenis gandum), gandum keras, tebu, kapas, semangka, terong serta aneka jenis tanaman serta beragam jenis bunga.

Dampak ‘’Revolusi Hijau’‘ memang sungguh luar biasa. Dalam empat abad pertama kekuasaan Islam, dunia benarbenar telah berubah. Pembangunan sektor pertanian di dunia Islam pun berkembang sangat cepat. Ditopang kekuatan di sektor pertanian inilah, kekuasaan kekhalifahan Islam pada masa itu berkembang semakin luas. Peradaban Islam pun menjadi adikuasa dunia, saat itu.

Berkembangnya sektor pertanian di era keemasan Islam telah mendorong munculnya teknologi aneka peralatan untuk bercocok tanam. Para insinyur Muslim di masa itu berhasil menciptakan dan memperkenalkan alat-alat pertanian seperti; bajak, garpu dan garu, alat menggali tanah dan menaman benih, alat untuk menuai, alat untuk pengirikan serta alat untuk penampian.

Alat-Alat Pertanian Warisan Peradaban Islam

Penggunaan bajak sebagai alat pertanian di dunia Islam diungkapkan Sejarawan Al-Maqrizi. Menurut dia, bajak digunakan sebagai alat untuk menggemburkan tanah sebelum melakukan penanaman dan penaburan benih.

Sejarawan Al-Marqasi, seperti ditulis Al-Hassan dan Hill, bajak digunakan para petani sebelum menanam tebu. Petani Mesir membajak tanah sebanyak enam kali, sebelum menanam tebu.

Bajak merupakan alat pertanian yang muncul dalam peradaban Islam dan hingga kini masih tetap digunakan. Pada era Islam, bajak dibuat dari besi, dan berbentuk gigi-gigi, seperti sikat. Para petani Islam menggunakan bantuan hewan peliharaan seperti kerbau dan lembu untuk menarik bajak.

Insinyur pertanian Muslim telah mampu membedakan teknik membajak tanah di berbagai jenis lahan. Pada masa itu, insinyur pertanian telah menulis kitab-kitab pedoman pertanian, seperti, Kitab Al-Filaha Al-Nabatiya karya Ibnu Wahsyiyya.

Pada dasarnya negara-negara Islam memiliki lahan yang tidak memerlukan bajak yang berat. Seiring waktu dan meningkatnya ilmu pengetahuan, para insiyur Muslim pun terus berupaya membuat rancangan bentuk bajak.

Peradaban Islam sudah mampu menciptakan bajak cakram yang sesuai dengan jenis tanah, sehingga tidak akan terlalu dalam memotong alur. Hingga kini, teknologi pertanian yang satu ini masih tetap digunakan para petani di berbagai belahan dunia..

Garpu dan Garu Alat pertanian lainnya yang dikembangkan para insinyur Muslim di era keemasan adalah gapru dan garu. Garpu merupakan salah satu alat yang juga digerakkan oleh binatang yang berfungsi untuk memecahkan bongkahan tanah yang menutupi benih. Alat ini digunakan setelah proses pembajakan tanah.

Menurut Al-Hassan dan Hill, para petani Muslim memiliki berbagai macam rancangan, seperti Al-Mijarr dan Al- Mislafah. Keduanya berupa berupa balok yang dengan gigi-gigi untuk menggaru lahan. Al-Mijarr mempunyai dua lubang di ujung-ujungnya serta dua pasang tali pengikat.

Sedangkan Al-Maliq terbuat dari papan kayu yang dibuat melebar dan ditarik oleh seekor lembu. Al-Maliq digunakan untuk meratakan alur yang dibuat oleh mata bajak untuk menanam benih. Kedua jenis garpu itu masih digunakan di beberapa negara Islam di belahan dunia dan ini merupakan bukti begitu luasnya kontribusi teknologi pertanian zaman keemasan. Selain itu ada pula alat bernama Garu.

Alat ini merupakan alat tangan yang terbuat dari kayu. Alat ini digunakan untuk menyisir tanah dan menutupi benih. Salah satu jenis Garu pada masa itu bernama Al-musyt. Alat ini berupa batang menyilang dengan gigi-gigi dan sebuah ‘kayu pegangan’ di bagian tengahnya, ungkap Al-Hassan dan Hill.

Sekop dan Cangkul Para petani Islam pun berhasil menciptakan alat untuk menggali tanah seperti sekop atau Al-Misyat. Alat ini digunakan untuk menggali lahan yang tidak memerlukan bajak, seperti lahan perkebunan sayur dan buah-buahan. Saat itu juga sudah dikenal sekop jenis lain bernama Al-Mijnah atau Al- Mijrafah yang digunakan untuk mengangkat tanah hasil penggalian. Petani zaman itu juga telah menggunakan cangkul untuk menggali tanah. Salah satu jenisnya bernama Al-Miza’ah.

Sabit Para petani Islam juga berhasil mengembangkan alat untuk memanen, berupa sabit atau bilah. Alat ini memiliki berbagai jenis, ada yang bergigi dan ada yang tidak. Bahkan ada yang bengkok pada ujung pegangannya dan ada yang melengkung ke depan sepanjang arah sikatan.

Pengirikan dan Penampian Setelah memanen, proses selanjutnya yang dilakukan para petani adalah pengirikan. Proses ini dilakukan di pinggir desa. Di tempat itu sudah terdapat butiran gandum yang disusun bertumpuk melingkar di ladang.

Menurut Al-Hassan dan Hill, terdapat tiga cara untuk mengirik. Salah satunya memanfaatkan hewan peliharaan seperti lembu untuk menggilas tumpukan gandum tersebut. Proses terakhir adalah penampian yang berfungsi untuk memisahkan dedak dengan butiran gandum. Kebanyakan teknologi pertanian itu hingga kini masih tetap digunakan. Sebuah sumbangan yang penting dari peradaban Islam untuk masyarakat dunia.

Sumber ; republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eight − four =