
JIC, JAKARTA- Alhasil, janganlah heran bila hari-hari ini muncul perbuahan wajah yang luar biasa pada kaum muda Indonesia masa kini. Mereka benar-benar muncul sebagai ‘manusia baru’ yang amat berbeda dengan sosok generasi pada dua dasa warsa silam ketika analisa tersebut dibuat. Mau tidak mau anak muda Muslim menjadi bagian warga dunia. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mereka bisa bertemu dan berkomunikasi secara langsung di mana dan kapan saja. Contoh gampang ini beda dengan generasi ‘bapaknya’ yang masih serba manual dan analog. Dan kelompok generasi milenial Muslim ini ditakdirkan yang menyesaki suasana hidup ketika dusun telah berubah menjadi perkotaan serta lebih hidup makmur dan serba mudah dalam kehidupan serba digital.
Akibat perubahan lingkungan sosial itu, maka ekpresi hidupnya pun berubah. Mereka tak gampang didoktrin dan hidup dengan pola pikir sendiri. Mereka tak bisa didekte ala ‘dipecut dan diberi kaca mata kuda’. Mereka bisa langsung mengecek segala klaim dari generasi sebelumnya dengan sebuah kamus segala hal moderen yang bernama ‘Google’ lewak koneksi internet yang mudah didapatkan. Melalui media itu mereka benar-benar menjadi individu yang dapat menjadi manusia yang lebih sempurna. Mereka seakan melengkapi daur hidup evolusi era manusia berikutnya. Ini karena generasi milenial Muslim ini sudah melompat teramat jauh sejak era manusia zaman moderen yang dimulai dari revolusi industri pasca ditemukannya mesin cetak ala Gutenberg itu.
Lompatan raksasa itulah yang kini mau tidak mau harus dipakai sebagai pisau analisa era generasi yang diistilahkan sebagai ‘Muslim Tanpa Masjid itu’. Apa yang ada dibenak mereka mengenai pengertian dan fungsi entitas masjid sudah tak sama bahkan sama sekali berbeda dengan masjid yang ada dalam benak generasi sebelumnya. Guru agama, ustaz, ulama, tak lagi sosok yang dengan ekpresi konservatif dan galak yang suka memukul pakai batang lidi bambu ketika bapaknya dahulu belajar mengaji di suraunya ‘wak haji’. Semua kini sudah banyak tercampakkan jauh dan telah berubah menjadi sekolah sistem kelas moderen yang gemar memakai istilah bahasa asing. Metode ajar baca Alqurannnya tak lagi memakai model klasik ala Bahgdadi, tapi mereka akbrad dengan cara mengaji baru ala Iqra dan sejenisnya yang dahulu dipelopori oleh ustaz asal Kota Gede Yogyakarta, As’ad Human. Kitab dan buku berubah jadi papan sabak moderen, yakni latop dan tab komputer dengan berbagai macam variasinya.
Pengunjung Hijrah Fest memadati loket tiket di pintu utama Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).
Begitu pun dengan cara mereka berinfak, zakat, infaq, hingga sadaqah. Mereka tak lagi pergi para ke rumah kaum tua yang paham agama, tapi mereka bentuk lembaga dan yayasan filantropi. Cara pakaian juga tak bisa didikte dengan hanya mengidentikan memakai kain sarung, jubah, atau celaka pansi, tapi bebas saja. Bahkan, aneka simbol pakaian yang ada di zaman lalu mereka rajut kembali dan ubah modelnya dengan bahan dan potongan kain baru. Malah mereka tak sungkan memakai pakaian yang dahulu dikenakan oleh orang dengan sosok dengan simbol tertentu dan kini kemudian menjadikannya sebagai hal atau pemandangan kesehariannya yang biasa saja.
Maka jangan heran serban misalnya, bukan lagi pemandangan ‘angker’ seperti berimajinasi pejoratif layaknya sindrom mental yang diidap oleh generasi pendahulunya. Mereka bawa mode pakaian ini dalam bentuk baru bahkan hingga ke atas pentas musik rock yang dahulu kerap dicap urakan. Pengajian pun kini berubah layaknya konser akbar dan festival. Mereka bersaing dengan pertunjukan masa non agama yang berkarcis mahal. Mereka ternyata bisa menjual pengajian dalam arti yang lebih elegan dibanding generasi sebelumnya yang serba gratisan. Pengajian kini bertiket serta menjadi ajang gerakan sosial.
Contoh semua ini terjadi pada fenomena ‘Hijrah Fest’ yang pada tiga hari diakhir pekan lalu usai digelar. Tanpa dinyana dan disangka tiket acara pengajjian yang dikemas dengan model baru itu menciptakan histeria massa bersaing dengan konser musik yang ada pada pekan yang sama: Konser super grup Rock Gun & Roses atau konser Mariah Carey. Area gedung konprensi kaum elit yang ada di bilangan komplek Gelora Senayan itu mereka jadikan area masjid dadakan. Gedung yang dahulu dibikin untuk ajang berbagai macam konprensi internasional, seperti Konprensi Negara Non Blok tersebut kini menjadi tempat pengajian baru. Di sini imajinasi berubah total layaknya kisah cerita pendek klasik karya AA Navis: Robohnya Surau Kami. Kenangan akan imajinasi sosok surau yang lama benar-benar lenyap dari ingatan mereka. Pandangan akan kesan usang dan berdebu atas sosok ajaran agama berganti serta hadir dengan sosok surau atau masjid baru yang tampil serba mengkilap dan mengikuti gerak zaman.












