
Seperti diteliti Robert W. McChesney, karena tata-kelola internet yang demikian ini, surplus ekonomi digital belum banyak berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian lokal. (Lihat “Internet dan Globalisasi Universal”, Kompas, 22/6/2017)
Persoalan berikutnya adalah pajak. Pendapatan terbesar google dan facebook adalah dari iklan digital tertarget. Pertanyaannya adalah di manakah pajak atas iklan tersebut harus dibayarkan, di negara asal pengiklan atau di negara dimana aplikasi itu didaftarkan?
Muncul ketidakpastian sekaligus ketidakadilan di sini. Kompas.com, detik.com, bukalapak, tokopedia dan semua jenis media online di Indonesia harus membayar pajak untuk setiap penghasilan iklan yang mereka peroleh. Sementara google, facebook, yahoo, twiter dan lain-lain dengan pendapatan iklan yang jauh lebih besar dapat terbebas dari kewajiban membayar pajak. Tahun 2016, perusahaan raksasa digital itu berhasil meraih 70 persen dari total belanja iklan digital Indonesia.
Persoalan yang lain adalah keamanan data personal. Perusahaan seperti google, facebook, yahoo merekam data pribadi (behavioral data-red) setiap penggunanya dan memanfaatkannya sebagai basis periklanan digital.
Kita tidak tahu secara persis untuk keperluan apa lagi data tersebut dimanfaatkan. Di sini, kita berbicara tentang privasi pengguna internet yang tiba-tiba saja email pribadi, akun media sosial atau aplikasi whatsup-nya dimasuki iklan-iklan digital tanpa pernah memberi izin kepada siapa pun untuk menggunakan saluran-saluran pribadi itu. Kita juga berbicara keamanan data yang dikelola perusahaan layanan mesin pencari atau media sosial dari kemungkinan diretas atau dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki maksud jahat.
Dalam konteks inilah muncul inisiatif untuk mengoreksi dominasi Amerika Serikat dalam tata-kelola internet global. Sebagaimana dicatat Dan Schiller (2014), pemerintah Kenya, India, Mesir, Meksiko, China sejak tahun 2011 mengajukan tuntutan tentang transisi pengelolaan internet global dari Pemerintah Amerika Serikat ke sebuah lembaga multilateral.
Dalam pertemuan Meja Bundar Internet September 2012 di China, hal yang sama ditegaskan Rusia, Brazil dan Afrika Selatan. Mayoritas negara-negara yang hadir sepakat untuk mengatasi globalisme unilateral internet oleh Amerika Serikat dengan memberi wewenang The International Telecommunication Union (ITU) dalam mengatur dalam tata kelola internet global.
ITU adalah organisasi PBB yang beranggotakan 192 negara dan memiliki reputasi meyakinkan dalam menyelesaikan tata-kelola telekomunikasi internasional.
Amerika Serikat dengan tegas menentang gagasan tersebut. Pemerintah dan pelaku bisnis Amerika Serikat secara lantang menyatakan adanya ancaman terhadap kebebasan berinternet. Penolakan juga dilakukan Amerika Serikat ketika mayoritas negara peserta World Conference on International Telecommunications 2012 di Dubai menyuarakan tuntutan yang sama.

Menempatkan ITU sebagai otoritas baru internet global, menurut Amerika Serikat dapat mengganggu iklim kebebasan berinternet dan kebebasan informasi. Menariknya, tak lama kemudian Amerika Serikat justru menciderai kebebasan berinternet dengan mencekal wikiLeaks yang membocorkan berbagai “ketidakpatutan” dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat.