HOAKS JELANG PILPRES MENINGKAT, PENEBARNYA ‘KEBANYAKAN KAUM IBU’ (2)

0
262

JIC, JAKARTA—“Kaum ibu-ibu yang mendapatkan laporan masyarakat yang paling banyak, melalui aduan konten, bahwa merekalah yang paling banyak menyebarkan hoax melalui WhatsApp.”

Untuk motivasi penyebaran hoaks politik, kata Ferdinandus, terkait pilihan politik.

“Walaupun dia kadang-kadang tahu itu hoaks, itu dia tetap sebarkan karena menguntungkan jagoan-jagoan dalam konstestasi pemilu. Ini temuan kita hasil dari mesin kita.”

Kominfo menurutnya berupaya menangkal hoaks dengan tiga cara.

“Selain pemblokiran, melalui mesin AIS yang bekerja 24 jam, tujuh hari seminggu, didukung seratusan verifikator, lalu penegakan hukum kerja sama dengan Mabes Polri.

“Yang lebih penting dari itu adalah literasi digital, Kementerian Kominfo telah menginisiasi gerakan nasional yang namanya siber kreasi,” papar Ferdinandus.

Siber Kreasi katanya melibatkan 96 lembaga baik lembaga pemerintah, BUMN, maupun swasta untuk mendatangi sekolah, kampus, pesantren, komunitas, dan masyarakat umum lainnya untuk memberi pelatihan literasi digital.

prabowoHak atas fotoANTARA/OKY LUKMANSYAH
Image captionBadan Pemenangan Pemilu BPN Prabowo-Sandi kerap mendapat pertanyaan seputar isu pro-khilafah yang ditudingkan ke Prabowo.

Pengaruh hoaks ke capres

Kedua tim kampanye pasangan calon presiden mengaku dampak hoks merugikan mereka.

Direktur Media Sosial Tim Kampanye Nasional dari calon presiden 02 Joko Widodo-Makruf Amin, Arya Sinulingga, dampak hoaks dalam menggerus suara 01 cukup besar.

“Cukup banyak yang terpengaruh, dulu awal-awal ada 9 juta orang yang percaya isu (soal Jokowi anti Islam-dan PKI) dan itu digunakan untuk menggunakan suara kita di bawah, tapi sekarang suadah ada perbaikan bahwa ternyata itu bohong.”

Perbaikan itu klaim Arya tampak dalam laporan berbagai lembaga yang menyebut fitnah isu Islam mulai berkurang, dan tergambar elektabilitas. Namun isu komunis mulai dilempar lagi.

Terakhir katanya, tengah beredar foto seseorang dnegan seragam hitam 01 datang ke debat dengan menggunakan topi yang disematkan pin bersimbol palu arit.

“(Padahal) kami pada hari itu semuanya pakai baju putih,” kata Arya.

Di sisi lain, juru bicara Badan Pemenangan Pemilu BPN Prabowo-Sandi Rahayu Saraswati bercerita, ia kerap mendapat pertanyaan seputar isu pro-khilafah yang ditudingkan ke Prabowo.

“Orang-orang yang menyatakan bahwa ‘Oh, Prabowo itu akan menggantikan negara Pancasila menjadi negara khilafah’ masih sering, bahkan sampai dua hari menjelang debat kemarin.”

Rahayu menambahkan jumlah yang bertanya dikhawatirkan lebih sedikit ketimbang yang langsung percaya.

“Takutnya lebih banyak lagi yang langsung percaya saja,” lanjut dia.

Rahayu mengklaim hoaks soal prokhilafah sudah cukup lama. “Sebagai jubir, cukup melelahkan untuk mengklarifikasi.”

pilpres, pemiluHak atas fotoANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA
Image captionPeneliti Lembaga Survei Indikator, Adam Kamil, mengatakan berita palsu tidak akan kuat untuk mengarahkan pemilih.

Tidak kuat mengarahkan pemilih

Bagaimanapun, peneliti Lembaga Survei Indikator, Adam Kamil, mengatakan berita palsu tidak akan kuat untuk mengarahkan pemilih.

Alasannya pengguna media sosial terbatas, terlebih yang intens memainkan isu politik.

“Hanya segmen tertentu saja, sementara di segmen tersebut, basis pendukung masing-masing pendukung sudah stabil, ketimbang kelompok yang lebih pasi. Kkarena kelompok-kelompok yang lebih aktif mengakses berita-berita tentang politik, pemerintahan, melalui saluran informasi terkini, medsos itu tidak banyak.”

Menurutnya para pemilih yang aktif di media sosial dan media terkini lainnya adalah kelompok yang sudah sulit dipengaruhi.

“Mereka itu orang-orang yang imannya cukup kuat, iman ke 01 iman ke 02, relatif stabil.”

Artinya para pemilih akan mengabaikan isu-isu yang menjelekkan jagoan mereka. Sementara itu para swing voter, dan mereka yang pasif tidak terlalu memperhatikan informasi yang mereka anggap tidak jelas di media sosial atau media terkini lainnya.

Dalam survei-survei yang dilakukan Indikator, hoaks tentang Jokowi keturunan PKI, terlahir dari orang tua Non-Muslim, keturunan Tionghoa, memang muncul.

“Tergambar tapi juga sedikit, dan dari orang tahu atau mendengar itu pun umumnya tidak percaya,” lanjut Adam.

Ketidakpercayaan publik terhadap hoaks politik, kata Adam, lebih karena sumber berita.

“Siapa yang berbicara itu, nah itu kan kembali pada tokoh, kalau yang dipercaya itu dianggap sebagai tokoh, potensi mempengaruhinya akan sangat besar.”

Hal tersebut, menurut Adam, dimanfaatkan Jokowi maupun Prabowo untuk menyampaikan curhatan seputar hoaks sebagai antipasi terhadap publik yang masih percaya.

sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen + seventeen =