JIC, JAKARTA—Mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, menyangkal anggota eks-ormasnya terlibat dalam gerakan Islam eksklusif di lingkungan kampus, seperti yang dipaparkan dalam temuan penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM UNUSIA).
“(HTI) sudah dicabut badan hukumnya, sudah tidak ada kegiatan atas nama HTI,” ujar Ismail melalui sambungan telepon kepada BBC News Indonesia.
Penelitian LPPM UNUSIA mengungkap tumbuh suburnya sejumlah gerakan Islam eksklusif – yang juga disebut sebagai Islam transnasional – di sejumlah kampus negeri yang menjadi objek penelitian mereka di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Satu tarbiyah, kemudian yang kedua hizbut tahrir, (sementara) salafi itu minoritas,” papar peneliti LPPM UNUSIA, Naeni Amanulloh, dalam pemaparan hasil penelitian timnya, Selasa (26/06).
Menurutnya, penyebarluasan gerakan itu dilakukan melalui pengkaderan di sejumlah lembaga keagamaan kampus.
“Lewat LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Kegiatannya ada AAI, asistensi agama Islam,” lanjut Naeni.
Islam eksklusif sendiri dimaknai peneliti sebagai gerakan Islam di kampus yang berkiblat ke organisasi atau paradigma Islam di Timur Tengah. Sebaliknya, gerakan yang merujuk kepada paradigma Islam di Indonesia, dianggap sebagai Islam nasional atau inklusif.
Apa saja temuannya?
Penelitian yang dilakukan sejak Desember 2018 hingga Januari 2019 itu menganalisis aktivitas gerakan tersebut di delapan kampus yang tersebar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Terdapat sejumlah poin yang jadi pokok temuan LPPM UNUSIA dalam penelitian kualitatif yang mereka lakukan. Pertama yaitu dominasi gerakan tarbiyah di kampus-kampus objek penelitian.
Gerakan tarbiyah yang berkiblat pada Ikhwanul Muslimin di Mesir diyakini bermanisfestasi – salah satunya – dalam bentuk organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Peneliti mengidentifikasi gerakan tersebut mengidealkan penerapan syariat Islam dan berdirinya negara Islam.
“KAMMI itu secara otomatis tarbiyah, tapi tarbiyah itu tidak selalu KAMMI. Jadi cover massa ideologisnya itu lebih besar tarbiyah,” tutur Naeni Amanulloh, peneliti LPPM UNUSIA.

Kedua, gerakan Hizbut Tahrir yang diklaim masih menggeliat dalam diam setelah dibubarkan pemerintah tahun 2018 lalu. Gerakan ini disebut-sebut berada dalam DNA organisasi kemahasiswaan bernama Gema Pembebasan (GP).
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sendiri dinyatakan sebagai ormas terlarang karena terbukti berkeinginan mengubah negara Pancasila menjadi khilafah.
Ketiga, adanya gerakan aliran salafi di sekitar kampus. Meski tidak sepolitis tarbiyah dan hizbut tahrir yang kadernya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, aliran ini aktif menggelar kegiatan-kegiatan di masjid sekitar kampus, dengan tujuan untuk memurnikan atau purifikasi ajaran Islam.
Keempat adalah lemahnya gerakan-gerakan mahasiswa yang dianggap membawa gerakan Islam inklusif, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) di lingkungan kampus.
“Mereka seperti tidak tertarik untuk mengisi ruang-ruang masjid dan menganggap bahwa kayaknya (hal itu) nggak in (populer),” ungkap Okky Tirto, Koordinator Media LPPM UNUSIA.
“Mereka lebih fokus, misalnya, ke BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), ke kegiatan-kegiatan lain, sementara justru sirkulasi gagasan ini adanya di masjid.”
Juru bicara UGM, Iva Ariani, sebagai salah satu kampus yang diindikasi terpapar gerakan Islam eksklusif, belum bersedia menanggapi hasil penelitian tersebut.
Namun, melalui pesan singkat, ia menegaskan bahwa sebagai universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, nasionalisme dan kebangsaan, “mahasiswa UGM sejak masuk menjadi mahasiswa baru, dalam proses perkuliahan, dan saat akan lulus, selalu ditanamkan nilai-nilai tersebut.”
sumber : bbcindonesia.com