Kampung santri, kampung homogen organik
JIC, JAKARTA — Di luar perumahan berkonsep syariah yang dibangun oleh pengembang perumahan modern, di banyak tempat, bermunculan pemukiman yang dengan sendirinya terbentuk menjadi masyarakat homogen.
Seperti yang terjadi di Desa Sawo Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul.
Pemandangan kontras tampak sore itu, ketika seorang perempuan muda dengan hanya berkaus tanpa lengan dan celana pendek, sedang merapikan rumah sederhananya.
Di jalan, di depan rumahnya, bocah-bocah perempuan berbaju niqab berwarna gelap sedang asyik bersepeda.
Salah satu ibu dari anak-anak ini, Ummu Hajar, menganggap pemandangan yang kontradiktif itu sebagai hal wajar.

“Mungkin sana belum paham tentang aurot jadi hal yang wajar. Yang penting kasih pengertian pelan-pelan, itu begini-begini. Nanti Insya Allah kalau kita semakin mendekatkan diri kepada mereka siapa tahu bisa tertarik,” ujar perempuan yang juga mengenakan niqab ini.
Ummu Hajar -begitu kini dia memilih untuk dipanggil sesuai dengan nama anaknya – merupakan salah satu penghuni “kampung santri”, yakni pemukiman yang dihuni oleh orang-orang dari penjuru nusantara yang tinggal di sekitar Pesantren Jamilurrahman As Salafy.
Para perempuan, baik dewasa maupun anak-anak yang tinggal di pemukiman yang disebut sebagai ‘kampung santri” itu mengenakan niqab. Sementara para lelaki bercelana cingkrang dan memelihara jenggot.
Diperkirakan saat ini ada lebih dari seratus orang yang mendiami kampung santri yang terletak di selatan kota Yogyakarta.

Perempuan berusia 28 tahun itu hijrah dari Lampung ke kampung santri sejak 2008, mengikuti kakaknya yang sudah dulu ‘mondok’ di Pesantren Jamilurrahman As Salafy.
Kepada BBC News Indonesia, dia menjelaskan awal mula ketertarikannya tinggal di kampung santri.
“Tadinya penasaran. Penasaran karena ada orang yang pakai begini [niqab). Kita pikirannya gimana nafasnya, tapi begitu dicoba ya biasa aja ternyata,” tuturnya.
“Tadinya kaget juga sih, ya kan kita biasanya terbuka, artinya pakai jilbab aja, nggak pakai tutup muka. Ini kan rapat semuanya. Itu tertariknya di situ,” imbuhnya.
Setelah mencoba mengenakan niqab dia pun betah dan memahami sisi positif dari mengenakan niqab.
“Kita kan melindungi [dari] segala macam. Karena wanita kan banyak dikelilingi setan, jadi kita menutup aurat kita semuanya, kita jadi terlindungi dari setan. Sedangkan laki-laki itu kan mudah untuk dibisiki. ”
Dia pun menikah dengan sesama santri dan kemudian membina keluarga di kampung santri. Hingga kini, dia sudah memiliki empat anak.
Warga kampung santri yang lain, Ummu Asim yang sudah 17 tahun tinggal di kampung itu pun menampik tudingan bahwa kampung santri yang homogen ini menjadi masyarakat yang eksklusif.
“Kayaknya enggak ada pandangan ekslusif. Wong kita biasa sama bermasyarakat. Nyatanya kita sama pemerintah desa selama ini baik-baik saja,” ujar Ummu Asim
“Mungkin yang seperti itu karena belum tahu kita gimana. Belum pernah ber-muhadatsah(bercakap),” imbuh Ummu Hajar.

Di seberang jalan kampung santri, tinggal Sumarni dan keluarganya. Sehari-hari, dia membuka warung di depan rumahnya yang menjajakan jajanan untuk mereka yang disebut warga lokal sebagai “orang-orang pondok”, termasuk es kelapa muda.
Dia yang merupakan warga asli dari desa itu mengaku merasa diuntungkan secara ekonomi dengan keberadaan “orang pondok”, namun dia akui banyak warga yang merasa tersisih karena banyak dari “orang pondok” membeli lahan atau rumah warga yang mulanya tinggal di desa itu untuk dijadikan pemukiman mereka.
“Dulu kan cuma berapa orang, lama-lama banyak yang datang, terus beli tanah di sini, terus bikin rumah,” ujar Sumarni.
Tanahnya yang kini dijadikan ladang sawah, juga beberapa kali ditawar oleh para pendatang ini.
“Yang nanyain banyak, tapi aku enggak boleh. Terus terang, karena anaknya banyak, besok untuk anak saya,” ujar perempuan yang memiliki empat anak ini.

Bahkan, ketika mereka menawar lahannya dengan harga Rp2 juta per meter, dia tetap enggan. Padalah sebelum kehadiran pesantren ini, harga tanah di wilayah itu hanya Rp 60 ribu per meter.
Dia menambahkan, kedatangan para pendatang ini membuat tradisi yang dipegang warga sekitar kian luntur.
“Sekarang ada ini (kampung santri) kampung marai kendho (menjadi kendor), istilahnya malam takbiran menjelang lebaran enggak boleh. Terus orang kampung biasa kalau ada yang meninggal itu tahlilan, sekarang enggak boleh. Jadi udah ikut-ikut kebiasaan di situ,” ujar nya.
Selain takbiran dan tahlilan, tradisi yang selama ini dilakukan warga seperti puasa sya’ban dan syukuran, juga sudah jarang dilakukan.
Perubahan sosial itu, menurutnya, terjadi setelah orang-orang pendatang mulai merasuk ke kehidupan bemasyarakat dan mulai mengambil alih.
“Masjid aja sudah dikuasai, istilahnya.”
Bahkan, ada beberapa warga yang bergabung dengan komunitas beraliran salafi tersebut.

Mohammad Iqbal Ahnaf dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana (CRCS) Universitas Gadjah Mada menggarisbawahi bahwa model keberagamaan yang mengentalkan identitas dan cenderung terlepas dari budaya lokal semacam ini, menjadi catatan serius dan tantangan dalam membangun masyarakat.
“Padahal budaya lokal di Yogya, seperti halnya di tempat lain kan guyub, rukun, dan kegiatan keagamaan yang dihadiri orang non muslim, itu biasa di Yogya.”
“Tetapi karena ada pemahaman keagamaan yang baru sehingga orang merasa perlu memisahkan diri, merasa aspirasi keagaaman bisa dipenuhi ruang yang homogen,” jelas Iqbal.
Ancaman bagi kultur toleransi?
Apa yang terjadi di Desa Sawo Glondong, menurut Iqbal, adalah sesuatu yang secara sistematis biasa dilakukan oleh komunitas Muslim aliran tertentu.
“Prinsip dari komunitas-komunitas tertentu, termasuk yang bisa saya sebut adalah kelompok salafi, mereka membuat kampung salafi,” ujarnya.
Jika perumahan atau pemukiman syariah ini dibiarkan, ruang perjumpaan sosial untuk mendorong toleransi semakin sempit.
“Bisa dibilang ini sebagai ancaman untuk kultur toleransi di masyarakat kita dan pada tingkat tertentu bahkan sebenarnya kita perlu mengkhawatirkan bahwa perumahan-perumahan ini bisa menjadi safe haven bagi ekstrimisme,” ujar Iqbal.
Tentu saja, tegasnya, hal ini tidak berlaku untuk semua perumahan syariah. Namun, berdasar riset yang dilakukan Iqbal, banyak pengembang yang memang sangat ekslusif secara teologis dan semangatnya menarik diri dari kehidupan sosial.

Namun, Iqbal mengakui bahwa di Yogyakarta ada wilayah-wilayah menjadi homogen sebagai dampak dari proses kebudayaan di Yogya.
Sebab, pada zaman dahulu kala ada konsesi yang diberikan Keraton Ngayogyakarta kepada kelompok keagamaan yang membuat wilayah itu sebagai tempat dakwah bagi kelompok tersebut.
Contohnya, pemukiman muslim yang menempati sekitar empat Masjid Pathok Negoro. Sesuai dengan namanya, Masjid Pathok Negoro adalah masjid-masjid yang dibangun di daerah tapal batas Kraton Ngayogyakarta saat itu.
“Otomatis wilayah di sekitar Masjid Pathok Negoro itu menjadi wilayah yang secara kultur keagamaan homogen, tetapi kemudian itu tidak secara otomatis menutup ruang perjumpaan,” kata Iqbal.
“Tanpa merubah lanskap demografis di situ, namun basis sosialnya sangat inklusif,” imbuhnya.
Perumahan Muslim Djogja Village berada sekitar 300 meter dari Masjid Pathok Negoro Sulthoni yang terletak di arah utara, tepatnya di Desa Plosokuning, Sleman.
Menurut salah satu warganya, Gatot Catur, perumahan muslim ini dibangun sesuai dengan falsafah Masjid Pathok Negoro.
“Jadi Keraton mendirikan [masjid] Pathok Negoro itu tidak hanya sebagai tempat ibadah, dulunya, di radius sekian meter itu ada Mutihan,” jelas Gatot.
Daerah Mutihan mempunyai arti sebagai tempat tinggal orang-orang putih atau santri. Kala itu, Desa Ploso Kuning disebut sebagai kampung santri.
Dia menegaskan, perumahan muslim yang dia tinggali memiliki konsep yang berbeda dengan perumahan bertema syariah yang kini sedang marak.
“Beda, enggak ada kaitannya sama sekali. Bangun mushola ya urunan, dinggo (digunakan) bersama. Saya malah salat di masjid [Pathok Negoro], jadi biar nggak ada gap, ekslusif,” kata dia.
Kehidupan bermasyakat yang inklusif, juga diamalkan oleh Gatot. Dia mencontohkan, ketika ada perayaan natal di gereja, dirinya ikut menjaga pelaksanaan keamanan.
“Teman saya yang Katolik banyak, yang beragama Kristen banyak, ya bisa berbaur,” kata dia.
Hingga kini, lingkungan masjid ini masih melestarikan budaya yang berkembang sejak dulu, seperti Selawat Radat, tradisi yang selalu hadir saat Ramadan dan dilantunkan sambil menunggu waktu berbuka puasa.

Betapapun, seharusnya, demikian pengamat mengungkapkan, keberadaan suatu perumahan atau kampung tidak boleh didasarkan kepada latar belakang agama.
“Mestinya ada peraturan soal pengembangan perumahan yang tidak boleh membatasi pembeli secara diskriminatif,” tegas Iqbal.
Namun, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, menegaskan seharusnya tidak boleh ada perumahan eksklusif yang berhubungan dengan kelompok agama tertentu.
Menurutnya, urusan agama menjadi domain pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat jika ingin mengembangkan perumahan berkonsep syariah di daerahnya.
“Agar jangan tumbuh urusan-urusan perumahan yang dicampuradukkan dengan urusan agama,” tegasnya.
“Jadi jelas kami katakan tidak boleh urusan agama itu dicampuradukkan. Kalau perumahan ya perumahan saja, jangan ada perumahan syariahnya karena itu akan menyinggung urusan agama dan agama bukan urusannya pemerintah daerah, itu urusannya pemerintah pusat,” imbuhnya kemudian.
Ketua Real Estat Indonesia (REI) Yogyakarta, Rama Adyaksa Pradipta mengakui tidak ada aturan khusus yang mengatur soal perumahan yang harus heterogen.
Selama ini, penyediaan perumahan mengacu pada UUD 1945 pasal 28, bahwa setiap warga negara berhak atas perumahan dan lingkungan yang layak.
“Di situ jelas kata-katanya, setiap warga negara tidak membedakan suku, agama, ras dan golongan. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa rumah itu kebutuhan pokok,”jelasnya.
“Dan manakala rumah sudah diarahkan menjadi hal yang ekslusif seperti itu, kita juga harus berhati-hati mencermatinya dan mungkin serta merta tidak bisa kita rekomendasikan perumahan eksklusif itu cocok dan baik untuk di setiap lingkungan masyarakat,” imbuhnya.
Laporan ini merupakan seri ketiga liputan khusus menguatnya konservatisme Islam dalam 74 tahun kemerdekaan Indonesia.
sumber : bbcindonesia.com