SEKULARISME DUNIA PENDIDIKAN ANCAMAN KEMASLAHATAN BANGSA (3)

0
362

Foto: Dok Uhamka

JIC, JAKARTA,– Zulfikri Anas, penulis buku Sekolah, Kurikulum, dan Guru untuk Kehidupan  menegaskan bahwa pembelajaran akan efektif apabila menghadirkan dunia nyata dalam setiap aktivitas anak-anak.

Suasana belajar harus mendorong munculnya kesadaran penuh dari dalam diri anak bahwa dunia ilmu pengetahuan atau dunia akademis-ilmiah dengan kehidupan nyata merupakan satu kesatuan yang utuh. Pembelajaran yang dilakukan selama ini berupa penyampaian materi-materi kurikulum secara tuntas, dan masing-masing mata pelajaran berjalan sendiri-sendiri mengejar target kurikulum justru menggerus sisi-sisi kemanusiaan anak.

Menurutnya, proses yang demikian dapat dikatakan sebagai dehumanisasi yang mengasingkan anak dari dirinya sendiri dan kehidupan secara keseluruhan. Semua peristiwa dan semua persoalan yang dihadapi di dunia nyata tidak dapat diselesaikan melalui cara berpikir parsial, tidak satu pun persoalan yang dapat diselesaikan dengan satu ilmu. Untuk itu, pembelajaran berbasis aktivitas nyata yang mengolaborasikan setiap disiplin ilmu akan efektif, “Saatnya kita meninggalkan pembelajaran berbasis mata pelajaran.”

“Melalui pembelajaran kolaboratif, anak akan menemukan makna untuk apa ia belajar, dan secara alamiah ia akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah alat untuk mengenal dunia, menhadapi persoalan, menguasai ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya mereka akan sampai pada kesadaran penuh bahwa dia adalah hamba Allah yang bertanggung jawab penuh akan kemaslahatan hidupnya, baik di dunia maupun akhirat,” ujar Zulfikri.

Afrizal Sinaro yang juga ketua Yayasan Perguruan Al-Iman menyatakan, perlunya kesiapan dunia perbukuan mendukung pembelajaran yang benar-benar memanusiakan manusia dan menyadarkan setiap anak bahwa dia adalah khalifah di muka bumi, makhluk yang paling bijak. Untuk itu, buku-buku pelajaran, terutama di sekolah-sekolah Islam, seperti binaan Uhamka ini, perlu dirancang secara khusus dan tidak terperangkap dalam pemikiran sekuler, parsial, yang terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu.

“Ini tantangan kita, jika kita tidak mampu membuktikan bahwa pendidikan bernapaskan agama, khusus Islam adalah solusi terbaik untuk keluar dari berbagai kemelut dan gejolak, serta ketertinggalan bangsa ini, maka selamanya kita akan bergelut dengan persoalan yang sama,” ujarnya.

Untuk itu, kata Afrizal, diskusi-diskusi seperti ini harus dilakukan secara berkala, intensif, dan melibatkan pelaku pendidikan, seperti dosen, guru, kepala sekolah, dan semua pihak terkait. “Apalagi, Uhamka ini sangat berpotensi menghasilkan para pendidik yang profesional dan religius. Sebagainya cita-cita kita bahwa perilaku religius itu tecermin dalam peribadi dan hasil kerja para pendidik,” katanya menegaskan.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

8 + 8 =