BERGURU, BERKHIDMAH, DAN MENGIKUTI PANDANGAN ULAMA-ULAMA WASATHIYAH

0
219

JIC,– Covid-19 menyebabkan banyak ulama meninggal dunia. Hampir setiap hari, informasi duka cita beredar di lini masa media sosial mengabarkan orang-orang yang dihormati, yang mengabdikan diri untuk agama berpulang. Sejauh pandemi belum berakhir, kematian-kematian baru akan terus berlangsung lebih banyak daripada situasi normal.

 

Kehilangan mereka berarti hilangnya peran-peran yang telah mereka jalankan selama bertahun-tahun. Peran-peran kemasyarakatan dan keagamaan tak boleh berhenti dengan cara mencari mengganti ulama yang baik, atau bahkan lebih baik.

 

Ulama pada zaman dahulu umumnya dilahirkan dari pesantren. Namun perkembangan sistem pendidikan modern telah memperluas pilihan para calon ulama menuntut ilmu. Perguruan tinggi agama semakin banyak tersebar di seluruh Indonesia, dengan spesialisasi jurusan yang semakin beragam pula. Dari strata satu (S1) sampai dengan strata 3 (S3). Pilihan untuk belajar ke luar negeri, khususnya ke Timur Tengah, tempat Islam bermula, juga semakin gampang. Tersedia banyak beasiswa belajar.

 

Pengetahuan agama yang mumpuni menjadi syarat mutlak seorang ulama, namun hal itu tidak cukup. Tantangan terbesarnya adalah komitmen untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.

Ulama di Indonesia bukanlah orang yang mendapatkan gaji rutin setiap bulan. Padahal, mereka harus siap melayani masyarakat selama 24 jam. Tidak ada deskripsi pekerjaan yang jelas sebagaimana pekerjaan di tempat-tempat formal seperti di kantor pemerintahan atau perusahaan.

Menjadi ulama membutuhkan ketangguhan, ketabahan, kegigihan, komitmen, dan tentu saja keikhlasan tanpa batas. Tak banyak orang yang mampu memenuhi prasyarat seperti itu.

Sebagai penghormatan kepada ulama, masyarakat kemudian memberi mereka gelar kiai, tengku, anregurutta, buya, tuan guru, dan lain-lain sesuai dengan bahasa setempat. Gelar yang tidak dapat diraih di sekolah mana pun.

 

Dalam forum-forum penting, mereka selalu duduk di tempat paling terhormat, diberi sajian makanan terbaik, dan mendapatkan layanan istimewa. Pendapatnya didengar serta dipatuhi oleh masyarakat.   Status keluarga mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi ulama. Anak dari seorang kiai lebih mungkin ke depannya menjadi kiai penerus dibandingkan dengan orang yang keluarganya berlatar belakang biasa.

 

Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, anak kiai dari kecil sudah disebut gus, untuk laki-laki dan ning, untuk perempuan. Masyarakat mengharapkan mereka meneruskan peran-peran keagamaan yang sudah dijalankan oleh para pendahulunya. Sekalipun begitu, pengakuan publik ketika mereka dewasa tergantung pada kapasitas pribadi dan perannya di masyarakat. Ada kiai yang pengaruhnya melebihi para pendahulunya, tetapi banyak juga yang tidak mampu meneruskan jejak orang tuanya, bahkan tak sedikit pesantren yang seharusnya diteruskan pengelolaannya, akhirnya mati.

 

Keluarga keturunan KH Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan contoh dalam tiga generasi memiliki tokoh agama yang sangat berpengaruh di tingkat nasional, dimulai dari KH Hasyim Asy’ari, kemudian KH Wahid Hasyim, kemudian KH Abdurrahman Wahid. Namun sepeninggal Gus Dur, keluarga besar pengasuh pesantren Tebuireng ini belum ada yang mampu menunjukkan pengaruhnya sebesar para pendahulunya.

 

Sekalipun demikian, pesantren Tebuireng kini tidak mengandalkan kharisma pribadi, melainkan dikelola dengan manajemen yang lebih rapi.   Jenis kelamin mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi ulama. Laki-laki lebih mudah mendapatkan posisi tersebut dibandingkan dengan perempuan, sekalipun komposisi laki-laki dan perempuan seimbang antara 50:50 persen.

 

Sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here