Warga membubuhkan cap tangan saat aksi “Kick Out Hoax” di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/1). Aksi tersebut sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat perlunya menanggulangi penyebaran berita bohong (hoax), fitnah, hasutan, ucapan yang menimbulkan kebencian dan SARA yang belakangan ini marak di dunia maya. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/tom/foc/17. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA).
Jakarta, JIC –
Jika Dokter Koko, menggunakan pengetahuannya sebagai praktisi kesehatan untuk berbagi informasi, Yosi Mokalu memilih jalan yang kreatif dalam mengemas informasi agar tidak terasa menggurui dan membosankan.
Sementara Aribowo, sibuk di balik layar, mengecek fakta dari informasi yang beredar di dunia maya.
Satu hal yang sama dari mereka, sepakat bahwa hoaks di dunia maya tidak bisa dibiarkan begitu saja.
“Informasi yang keliru akan bikin orang bertindak keliru. Memang saya rasa, perlu saya saya sampaikan (apa) yang saya tahu. Sambil terus belajar karena banyak hal yang belum saya tahu,” kata Dokter Koko, yang juga praktik di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta.
Merujuk contoh yang dia berikan sebelumnya, Yosi menilai hoaks bersifat merugikan maka itu harus dilawan.
“Karena sudah banyak bukti hoaks itu merugikan,” kata Yosi.
Salah satu dampak hoaks yang paling terasa bagi Dokter Koko adalah masyarakat takut berobat ke rumah sakit karena isu “di-covid-kan”, alias dinyatakan positif COVID-19 demi keuntungan rumah sakit semata.
Meluruskan hoaks, berdasarkan pengalaman Aribowo adalah “gampang-gampang susah”, bergantung tingkat kerumitan isi konten tersebut.
Tapi, dibalik itu semua, menurut Aribowo letak masalah terkadang ada di masyarakat itu sendiri, apakah mereka mau ikut mengecek fakta. Dia menemukan masih ada orang yang, begitu menerima informasi, langsung membagikan, dengan alasan mempertanyakan kebenaran, bukan mengecek kebenaran informasi baru membagikannya.
Dinamika meluruskan informasi tentu sangat terasa bagi pegiat antihoaks, Dokter Koko, selain mendapat ucapan terima kasih dari para pengikutnya yang merasa terbantu, pernah juga dirundung.
Meski begitu, dia tetap memberikan edukasi melalui akun media sosialnya, sampai membuat buku digital seputar cara melakukan isolasi mandiri.
“Memang ingin bantu saja. Biar rakyat nggak banyak yang sakit, negara nggak kena dampak yang parah karena pandemi COVID-19 dan penyakit lainnya, dampaknya multidimensi,” kata Dokter Koko.
Yosi mengaku pernah dituding sebagai pendengung alias “buzzer“, namun, dia tidak mau terlalu ambil pusing dan menanggapinya dengan amarah.
Yosi menyitir perkataan salah seorang mentor ketika dia mengikuti pelatihan digital di Inggris Raya beberapa tahun lalu bahwa “sebagai seorang kreator konten, kalian harus punya energi untuk menjangkau pembenci kalian”.
Dengan catatan, kata Yosi, si pembenci ini teridentifikasi memang manusia sungguhan, bukan akun bot atau akun yang tidak jelas. Yang dia lakukan waktu itu, memberi penjelasan kepada pengguna akun tersebut.
Saat ditanya suka-duka menjadi fact checker, sambil tergelak Aribowo menjawab sudah pernah mendapat berbagai julukan.
“Sudah dituduh jadi antek Iluminati, anteknya Bill Gates, big pharma sampai big tech (teori konspirasi),” kata Aribowo sambil tertawa.
Para pegiat antihoaks ini menjadi cerminan dinamika media sosial Tanah Air, bahwa masih ada harapan untuk melawan hoaks yang merajalela.