Sekadar Contoh Kasus
JIC,— Di dalam buku Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali (bukan Ali Machrus) mengkritik orang yang berpendapat bahwa orang yang telah meninggal dapat mendengar. Beliau selalu mengemukakan ringkasan pendapat orang yang dikritik. Beliau pun mengemukakan dasar yang dijadikan argumen oleh orang yang dikritiknya itu. Setelah itu, beliau baru mengkritik. Kritikannya selalu disertai argumen dengan merujuk ke pendapar para pakar.
Tidak tertinggal pula, ayat Alquran dan hadis pun dikemukakannya. Kemudian, barulah beliau menyimpulkan pendapatnya, yakni hadis-hadis yang dijadikan rujukan bahwa orang yang meninggal dapat mendengar adalah lemah, bahkan, ada yang palsu sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Akhirnya, beliau menyatakan pendapatnya bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat mendengar.
Sedangkan mayat orang-orang kafir yang dikuburkan di sumur Badar, yang dijadikan contoh oleh orang yang berpendapat bahwa orang telah yang meninggal dapat mendengar, dinyatakannya bersifat kasuistis pada waktu itu dan di tempat itu karena orang yang mengajak berbicara adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengkritik dengan cara demikian dari segi substansi, lebih objektif. Sayang, dari segi bahasa, terkesan ada konfrontasi yang diwarnai rasa suka atau tidak suka. Pada hlm. 109, misalnya, beliau menulis,
“Sayang sekali Tim (ditulis lengkap nama tim yang dikritisi) seakan-akan malas dan enggan mencari dan menggunakan hadis-hadis yang sahih, yang bersih dari kritik ulama ahli hadis dalam mempertahakan pembenaran pendiriaannya. Mengapa harus nekat menggunakan hadis lemah, palsu, atau paling banter hadis yang derajadnya diperselisihkan para ulama kritikus hadis. […] Kasihan pembaca yang disuguhi hadis-hadis yang tidak dapat dipertangungjawabkan validitas kebenarannya sebagai perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [….] Kalau Tim […] asal-asalan menyimpulkan ….”
Dalam konteks ini, kata-kata malas, enggan, nekat, paling banter dan asal-asalan merupakan contoh kata yang berasa tidak suka. Pada halaman lain (misalnya hlm. 123) terdapat pula kata-kata yang diwarnai rasa tidak suka.
Ayat yang dijadikan dasar argumen Machrus Ali untuk mengkritik orang yang berpendapat bahwa orang yang meninggal dapat mendengar adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, di antaranya, adalah surat an-Naml (27): 80
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.”
Di samping itu, firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat Faathir (35): 22,
‘… dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya, Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”
Ilustrasi lain yang perlu menjadi bahan kajian dalam hal mengkritik adalah kritik yang terdapat di dalam buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Cara MUI mengkritisi lebih bagus lagi. Pada prinsipnya, pola yang digunakan sama, yakni lebih dahulu dikemukakan ringkasan paham Syi’ah. Lalu, dikemukakanlah pendapat para ulama secara komprehensif dan barulah disimpulkan. Di dalam buku tersebut MUI mengkritisi Syi’ah dengan menulis subjudul yang secara langsung dapat dimaknai sebagai kritik. Pada hlm. 43-50, misalnya, MUI menulis subjudul “Penyimpangan Paham Syiah Mengafirkan Umat Islam”.
Di bawah subjudul itu, pada paragraf pertama dikemukakan secara padat pendapat ulama Syi’ah, al-Kulaini, yang menyatakan bahwa semua umat Islam selain Syi’ah adalah anak pelacur. Ulama Syi’ah lainnya yang disarikan pendapatnya adalah Mirza Muhammad Taqi, yang menyatakan bahwa selain orang Syi’ah masuk neraka selama-lamanya meskipun semua malaikat, semua nabi, semua syuhada, dan semua siddiq menolongnya. Pada paragraf kedua dikemukakan secara ringkas pendapat al-Kulaini yang menyatakan bahwa orang yang menganggap Abu Bakar dan Umar adalah muslim tidak akan ditengok oleh Allah pada hari kiamat dan disiksa yang pedih (masuk neraka). Bahkan, MUI mengutip pernyataan al-Kulaini, “Bermaksiat kepada Ali adalah kufur dan memercayai orang lain lebih utama dan berhak dari beliau dalam imamah adalah syirik.”
Setelah mengemukakan pendapat ulama Syi’ah, MUI mengemukakan secara komprehensif pandangan ulama dengan rujukan dalil naqli dan dalil aqli. Kemudian, MUI menyimpulkan dengan kalimat, “Dengan demikian, Syi’ah telah menyimpang karena mengafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.” Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah aspek bahasa. MUI menggunakan bahasa akademis, yakni netral dari rasa suka atau tidak suka.
Mengkritik dengan Akhlak Terpuji
Perbedaan sikap dan pendapat sering menjadi penyebab perpecahan, bahkan, kehancuran suatu kaum, lebih luas lagi bangsa. Tidakkah kita merasa sangat prihatin dan sedih jika sesama muslim saling meremehkan, bukan saling bersikap ramah; saling menendang, bukan saling menyayang; saling memukul, bukan saling merangkul; saling mengkritik dengan cara tidak santun, padahal Allah Mahasantun dan Rasul-Nya pun sangat santun!
Oleh karena itu, perlu ada tindakan mawas diri dalam hal mengkritik. Tindakan ini harus dimulai dari ulama, public figure, dan kaum intelektual. Bagi orang awam, mereka sangat berpengaruh. Jika mereka merasa dan menyatakan dirinya dan kelompoknya yang paling benar dan paling pintar ketika mengkritik, orang awam melakukan hal sama . Boleh jadi, melebihinya!
Cara mengkritik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentu merupakan rujukan utama karena beliau berucap dan bertindak berdasarkan wahyu, bukan nafsu. Dengan demikian kebenarannya bersifat mutlak. Beliau mengkritik dengan akhlak terpuji. Sudah tentu, perlu diingat pula bahwa dalam hal keduniaan (sains dan teknologi) seperti teknologi pangan, teknologi komunikasi, dan teknologi transportasi tidak demikian halnya.
Cara MUI mengkritik paham Syi’ah merupakan salah satu rujukan yang sangat bagus bagi ulama, public figure, dan kaum intelektual (di Indonesia). Mereka mengkritik dengan lebih dahulu mengemukakan secara ringkas (tetapi utuh) paham Syi’ah yang direpresentasikan oleh tokohnya. Tidak ada yang dimanipulasi. Setelah itu, mereka baru mengkritik dengan argumen berdasarkan dalil naqli (Alquran dan hadis) dan dalil aqli (pendapat para ulama). Akhirnya, MUI menyimpulkan. Pelajaran berharga yang perlu juga kita contoh adalah mereka menggunakan bahasa yang tidak dipengaruhi oleh rasa kebencian. Tidak ada olok-olok.
Wa Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Kota Magelang
Sumber : suaramuhammadiyah.id