MENANGGAPI KRITIK TANPA DENDAM (3)

0
317

Fenemona Lain

JIC,– Akhir-akhir ini, cukup banyak orang yang sangat berani mengkritik (lebih-lebih yang dilakukan berdasarkan ketidaksukaan), tetapi mereka tidak mempunyai kesiapan mental ketika mengha­dapi kritik balik. Mereka menanggapi kritik balik itu dengan kemarahan yang berlebihan, bahkan, dengan dendam mendalam.

Sementara itu, ada pula pejabat publik yang ketika menerima kritik, celaan, atau olok-olok, dia (dalam hitungan jam atau menit) langsung menanggapinya dengan “garang.” Ada yang lang­sung melakukannya sendiri, tetapi ada juga yang “meminjam tangan”. Ujung-ujung­nya, pengritik berurusan dengan “hukum”.

Di dunia Akademis terjadi juga fenomena antikritik pada dosen dan mahasiswa. Di antara dosen senior, ada yang sangat tersinggung ketika menerima kritik dari dosen junior, baik dari usia maupun dari jabatan fungsional, apalagi kritik dari mahasiswa. Masalah menjadi sangat kontraproduktif ketika ada perbedaan pendapat antara dosen yang satu dan dosen yang lain dalam pembim­bingan skripsi dan mereka bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Jika hal ini terjadi, tentu mahasiswa menjadi korban.

Ada pula mahasiswa yang merasa “sok” lebih pintar daripada dosen. Ketika menulis skripsi, atau tesis, atau bahkan disertasi, mereka over confident. Mereka tidak mau menerima kritik dari dosen pembimbingnya. Mereka memilih tidak menyelesaikan penulisan skripsi, tesis, atau disertasinya.

Masih ada lagi fenomena yang perlu kita renungkan juga. Pernah ada seorang cendekiawan muslim Indonesia menerjemahkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan, “Tidak ada tuhan selain Tuhan.” Berkenaan dengan itu, banyak ulama yang mengkritiknya. Salah seorang di antara mereka adalah ulama dan sekaligus cendekiawan muslim juga. Timbullah “kegaduhan” di internal umat Islam. Ketika menanggapi kritikan tersebut, cendekiawan muslim yang dikritik itu menyatakan bahwa ada intelectual gap antara dia dan orang pengritik.

Di kalangan kiai pun terjadi fenomena seperti itu terjadi. Mereka mengkritik, mengolok-olok, bahkan memfitnah kiai lain, tetapi tidak siap mental menerima kritik balik. Terjadilah debat tidak sehat. Jika kiai “sepuh” yang dikritik, dia membalas kritikan dengan kata-kata yang berna­da meremehkan kiai muda. Jika kiai muda yang dikritik, dia membalasnya dengan kata-kata yang bernada merendahkan juga.

Hal yang memprihatinkan juga adalah ada kiai yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai wahabi. Namun, anehnya terdapat kontradiksi di dalam pendapatnya itu. Pada bagian awal dia mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah wahabi, tetapi pada bagian berikutnya dia bingung sendiri karena Muhammadiyah menetapkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha berdasarkan hisab, yang tidak dilakukan oleh kaum wahabi.

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memang “digempur” dengan berbagai macam fitnah dan olok-olok. Di dalam buku Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh karya A. Jaenuri (hlm. 85) dikemukakan fitnah dan olok-olok itu sebagai berikut: Ahmad Dahlan adalah seorang wahabi; menyimpang dari Ahlu Sunnah wal Jam’ah; menolak apa yang dihasilkan oleh para imam mazdhab; hendak meruntuhkan agama; seorang Mu’tazilah, dan  dicap sebagai orang kafir.

Sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 + 9 =