UNIKNYA MENENTENG IMAN KE NEGERI GINSENG

0
159

muslim-korea-1

JIC – Anyonghaseo. Tidak mudah membawa iman di tengah budaya yang berbeda. Memerlukan sebuah energi dan jihad khusus. Ketika semua usaha sudah dilakukan, hanya Tuhan yang bisa memberikan penilaian. Yakin saja raportnya tidak merah.

Sungguh unik melihat fenomena iman yang dibawa oleh para pendulang devisa Indonesia (TKI) di Korea. Meskipun datang dari keluarga menengah bawah, namun tidak serta merta luluh di tengah budaya K-pop yang tengah melanda. Mereka bahkan cukup kental menenteng nilai-nilai tradisi dan agama (utamanya Islam) kemanapun mereka pergi.

Lihat saja, puluhan masjid dan musholla didirikan oleh kaum pekerja Indonesia tersebut. Ada yang berupa ruangan yang disewa kisaran Rp 20 jutaan per-bulan. Ada juga ruangan yang benar-benar dibeli dengan harga beberapa milyar rupiah. Memahami latar belakang mereka yang bukan kaum tajir maka fenomena itu sungguh menggetarkan hati.

Mendatangi masjid dan musholla mereka terkadang di luar nalar umum masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, tempat ibadah itu bukan tempat yang eksklusif untuk beribadah sebagaimana lazimnya yang ada di tanah air, melainkan beberapa diantaranya berada lantai atas sebuah pertokoan atau bahkan diatas salon kecantikan dan karaoke. Di sana keriuhan duniawi bertemu dengan suara magis relijius secara harmoni. Saling tidak mengganggu satu dengan lainnya. Luar biasa.

Dalam tataran riil, pandangan mata kita juga terkaget-kaget dengan munculnya banyak orang bersarung plus berpeciria di tengah lalu-lalang manusia yang “menuhankan” K-pop. Kaum pekerja itu merasa santai saja seolah dunia yang dihadapi adalah kampung halaman mereka di Indonesia. Hal semacam ini akan sulit terjadi manakala keimanan seseorang masih tipis atau ada perasaan minder terhadap bangsa lain.

6889c4d9-07c4-40c3-811f-31d5a62a53d5_169

Uniknya lagi, masjid-masjid mereka ini relatif kosong dari kegiatan. Maklumlah, kaum pekerja ini rata-rata harus berangkat kerja pagi-pagi dan pulang malam hari. Di hari Jumat pun sering tidak dipakai jumatan karena memang tidak memungkinkan untuk pulang dari tempat kerja karena jaraknya yang jauh dan waktu istirahat yang mepet. Bahkan di bulan Ramadhan ini, kegiatan buka puasa dan tarawih hanya ramai pada hari Sabtu dan Minggu saja.

Yang jelas, fungsi sosial masjid-masjid ini sangatlah kuat. Selain memiliki keuangan yang bisa dibilang “hebat”, inilah tempat menampung berbagai masalah yang menimpa WNI. Para pengurus masjid dan musholla dengan senang hati menampung orang yang terlantar, warga yang putus kerja hingga yang sakit jiwa. Dengan demikian sebenarnya tempat ibadah ini memiliki multifungsi, termasuk dalam menyelesaikan urusan-urusan sosial.

Kenyataan di atas, kalau mau diakui, merupakan sebuah fenomena yang luar biasa. Umumnya, membangun masjid Indonesia di negeri orang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tajir tertentu. Lihatlah masjid Indonesia di Den Haag yang dibangun oleh seorang kongklomerat kita. Selain izinnya tidak mudah, di beberapa Negara maju, kemampuan gotong royong untuk membangun rumah ibadah memang cukup menjadi tantangan tersendiri.

faaae230-b9ed-44f4-8cc4-e9b43997d675_169

Sejauh kaki melangkah, rasanya belum pernah saya temui masjid-masjid yang didirikan umat Islam dari negeri “padang pasir” Timur-Tengah. Selain jumlah yang sedikit, bisa jadi mereka lebih suka meleburkan dirinya dalam euforia budaya K-pop yang sedang membahana. Lebih asyik dan tidak perlu usaha banyak.

Akhirnya, berdirinya lebih dari 40 masjid dan musholla Indonesia di Korea Selatan menyadarkan kita bahwa ketahanan diri sebagian masyarakat Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Kaum menengah pekerja itu perlu mendapatkan perhatian lebih karena telah mencoba bangkit dan mandiri diatas nilai-nilai keindonesiaan. Memang, militansi kebangsaan justru sering muncul dari kalangan menengah bawah dan bukan dari kaum elit yang tidak jarang memiliki banyak agenda.

Sumber ; detiknews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here