BOLEHKAH BERPAKAIAN ISBAL ?

0
1452

JIC- Dalam masalah isbāl (pakaian yg menutupi mata kaki), ada sebagian orang yang sangat keras dalam menerapkan cara berpakaian, hingga mereka “menyalahkan” cara berpakaian orang lain yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan sebagian orang lainnya lagi, tidak mengharamkan pakaian isbāl. Lalu bagaimana sebenarnya duduk permasalahannya berdasarkan tuntunan Nabi s.a.w?

Jika kita memahaminya dengan baik dan holistik (utuh dan menyeluruh) sabda-sabda Rasulullah s.a.w., semestinya tidak terjadi sikap merasa paling benar sendiri atau sikap saling salah-menyalahkan di antara sesama kaum muslim. Kenapa? Karena permasalahan isbāl ini merupakan permasalahan klasik, yang sudah selesai dikaji dan dijelaskan para ulama Islam dengan apik dan bijaksana.

Mari sejenak kita tengok sebagian Hadis-Hadis Nabi s.a.w. tentang Isbal (Memanjangkan Pakaian).

Hadis 1:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) karena sombong.” (HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087)

Hadis 2:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim  No. 2085.  Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)

Hadis 3:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya karena sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi sambil menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)

Hadis 4:

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah S.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abū Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi kainku menjuntai ke tanah, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi S.a.w. bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari no. 3665, Al-Nasa’i no. 5335, Ahmad no. 5351, versi Maktabah Syamilah).

Hadis ini diriwayatkan oleh sejumlah ulama ahli hadis, di antaranya: 1) Imam al-Bukhari dalam Jami’us Shahīh 10/254 no.3665, dan no. 5784; 2) Imam Abū Dawud dalam Sunan Abi Dawud 4/56-57 no. 4085; 3) Imam an-Nasa’i dalam al-Mujta 8/206; 4) Imam al-Humaidi dalam al-Musnad 2/288 no.649; 5) Imam Ibnu Hibban dalam Shahīhnya, dan lain-lain. Dan masih banyak hadis-hadis shahīh yang semisalnya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid:

وَجُمْهُوْرُ اْلعُلَمَاءِ مِنَ اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ عَلَى عَدَمِ التَّحْرِيْمِ

“Dan Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama) dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.”

Mayoritas ulama mengatakan, dalil-dalil larangan isbal adalah umum (muthlaq), sedangkan dalil umum harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara umum, isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid­nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah hamlul muthlaq il al-muqayyad (dalil yang umum/global mesti dibawa kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya), sebagaimana Sahabat Mulia Nabi, Abu Bakr ash-Shiddiq yg pakaian-pakainnya menutupi mata kaki, bahkan hingga nyengser ke tanah tanpa unsur kesombongan.

Setelah pemaparan sebagian hadis-hadis tentang isbal dan penjelasan para ulama hadis, selanjutnya, marilah kita simak penjelasan para ulama Islam terkait pakaian isbal.

  1. Pendapat Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu. Dalam kitab al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ.

“Berkata pengarang al-Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

  1. Imam Ahmad bin Hanbal Radhiallahu ‘Anhu

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّه

Dalam satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Hal ini merupakan lahiriah perkataan para ulama mazhab Hanbali secara umum.”  (Ibid: al-Adab asy-Syar’iyyah)

Begitu juga dalam Kasysyāf al-Qinā’ disebutkan:

قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .

“Berkata Imam Ahmad dalam riwayat tentang dirinya: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan mantel di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa [selama tidak menyerupai wanita], karena menyerupai wanita itu perbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyāf al-Qinā’, 2:304; Mawqi’ Al Islām; Juga Imam Ar Rahibani, Maṭālib Ūli al-Nuhā, 2:363. Lihat juga Ibnu Taimiyah, Syarh al-‘Umdah, Cet. 1, Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1998M-1428H, hal. 361)

  1. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا

“Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah Rahimahullah memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh ataupun bukan makruh.” (Ibid: al-Adab asy-Syar’iyyah).

Beliau juga berkata dalam kitab Syarh al-‘Umdah:

فأما ان كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره

Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh al-Qadhi Iyadh dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarh al-‘Umdah, halaman 361).

  1. Imam Syarfuddin Musa al-Hijawi al-Hanbali Rahimahullah dalam kitab al-Iqna berkata:

فَإِنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيح

“Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah (boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hanbal, 1/91. Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon)

  1. Imam Abul Hasan al-Maliki Rahimahullah, penyusun kitab Kifāyah al-Ṭālib. Berkata Imam Ali bin Ahmad al-Ṣā’idi al-‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya terhadap Kifāyah al-Ṭālib:

ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عجبا.

“Kemudian saya (al-Ṣā’idi) katakan: perkataan al-Mushannif (penyusun kitab Kifāyah al-Ṭālib, pen.) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub.” (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam.

  1. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah berkata:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة، وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا، لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا، فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء.

“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa menjulurkan kain sarung dengan sombong adalah dosa besar, sedangkan jika tidak dengan sombong menurut lahiriah hadis adalah haram juga, tetapi hadis-hadis yang ada menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan) lantaran hadis-hadis yang menyebutkan ancaman dan celaan Isbāl masih bersifat mutlak (umum), maka dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak haram menjulurkan pakaian jika selamat dari rasa sombong.” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 3:144. Lihat juga: Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’, Bab: Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, 4:158]

Ulama zaman ini semisal ulama-ulama al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Ali Jum’ah Mufti Mesir, ulama-ulama Syiria Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi, Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, atau ulama Qatar asal Mesir Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, mereka tidak mengharamkan isbal kecuali jika disertai dengan sikap sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Syria, Yaman, Lebanon, Yordania, Irak, Pakistan, India, Indonesia dan lain-lain. Demikianlah masalah ini.

Dari pembahasan barusan, dapat ditarik beberapa kesimpulan dalam tulisan ini, di antaranya adalah:

  1. Dari hasil takhrij tentang isbāl, ditemukan empat klasifikasi, yaitu hadis yang melarang isbāl secara umum, hadis tentang larangan isbāl terhadap orang yang sombong, hadis tentang kebolehan isbāl seperti dicontohkan Abu Bakara., dan batasan-batasan isbāl.
  2. Metode yang digunakan untuk menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan dalam masalah ini adalah metode al-jam’u (kompromi), yaitu dengan mengkompromikan dua hadis yang bertentangan yaitu lafal yang umum di takhsis oleh lafal yang khusus. Dengan kata lain, hadis yang melarang isbāl secara umum dibatasi oleh hadis-hadis lain yang memperjelasnya, yaitu berlaku bagi orang yang ada rasa sombong dalam dirinya. Kalau tidak ada rasa sombong dalam diri, maka tidak dilarang (boleh) menjulurkan pakaian sampai ke bawah mata kaki.
  3. Berpakaian isbāl tanpa kesombongan adalah sunnah Nabi s.a.w. karena definisi sunnah adalah semua perkataan, perbuatan dan taqrir dari Rasululullah s.a.w., sedangkan langkah Abu Bakar r.a. dalam berpakaian isbāl telah dibenarkan bukan hanya oleh taqrir beliau s.a.w., tetapi juga oleh sabdanya (perkataan).
  4. Shalat dengan pakaian isbal tidak membatalkan shalat. Beberapa hadis shahih justru menunjukkan, para sahabat Nabi s.a.w. biasa shalat dengan kaki tertutup khuffain (sepatu kulit). Bahkan dalam kitab-kitab fikih, selalu ada pembahasan tentang shalat dengan khuffain.
  5. Maka, penulis menyimpulkan bahwa, hukum isbāl tidak haram, kecuali jika disertai dengan kesombongan, sebagaimana hal itu lazim terjadi pada kepala-kepala suku, ketua-ketua kabilah dan pemuka-pemuka Arab Jahiliyah di masa Rasulullah s.a.w. sebagai tradisi kemegahan mereka dalam berpakaian. Terlebih lagi, alasan adanya rasa sombong itu sendiri sulit untuk diukur, karena sombong atau tidak, itu adalah urusan hati. Ketika seseorang langsung menjustifikasi bahwa, setiap orang yang memakai pakaiannya menutupi matakakinya adalah kesombongan, berarti orang tersebut telah mengetahui urusan hati orang lain. Dia juga telah mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menghukumi orang Sungguh penilaian seperti itu luar biasa. Maka kita wajib berbaik sangka kepada sesama muslim. Terlebih lagi, Nabi s.a.w. mempersilahkan Abu Bakr al-Shiddiq untuk tetap mengenakan pakaiannya yang menutupi mata kakinya, dan mengajarkan kepada para sahabatnya tentang shalat dengan cara menutupi matakakinya dengan khuffain (sepatu kulit).

Namun demikian, silahkan kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan kita, tanpa ada sikap pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah s.w.t. memberikan pahala dan dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap merasa paling benar, keras, dan barangkali justru malah sombong, karena merasa paling nyunnah. Begitu juga bagi umat Islam yang mengenakan pakaiannya secara isbal (menutupi mata kaki), itu juga baik dan sesuai sunnah (sebagaimana pada kasus Sahabat Abu Bakr as-Siddiq yang pakaiannya menjuntai ke tanah), asalkan tidak disertai dengan rasa sombong. Maka letak sunnah dan tidak sunnahnya terletak pada sombong dan tidaknya seseorang dalam berpakaian. Wallahu a’lam.

*Ditulis oleh, Dr. H. Marhadi Muhayar, Lc., MA, dengan judul asli ‘Pakaian Isbal Menurut Para Ulama’

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four × 5 =