Menurut sejarawan Kuntowijoyo, Islam tak sama dengan Marxisme dalam analisis kelas
JIC, JAKARTA — Sejarah buruh di dunia memang tak lepas dari isu penindasan. Tema eksploitasi atas kaum pekerja terus meningkat sejak kemunculan sistem kapitalisme global, yang bertumpu pada penggunaan uang kertas.
Berbagai paham mencoba menyuarakan nasib kaum pekerja. Ambil contoh, anarkisme yang tak bisa serta-merta disamakan dengan ‘kekacauan.’ Merujuk Peter Marshall dalam Demanding the Impossible: History of Anarchism, paham tersebut mengemuka ketika sekumpulan orang menghendaki pemerintahan sendiri, yang lepas dari cengkeraman minoritas yang berkuasa.
Selanjutnya, gerakan sosialisme dan komunisme. Semua itu menginginkan kondisi masyarakat yang bebas dari ekses buruk kapitalisme.
Pada 1 Mei 1886, aksi buruh dalam skala masif terjadi di Amerika Serikat. Lebih dari 300 ribu orang turun ke jalan untuk menuntut jam kerja yang lebih adil bagi buruh dan pelbagai hak-hak manusiawi. Beberapa hari kemudian, para pemimpin aksi itu ditangkapi aparat setempat. Korban jiwa berjatuhan lantaran demonstrasi berubah jadi kericuhan.
Pada Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia di Paris, Prancis, menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia. Peringatan momen tersebut sampai kini berlangsung rutin di banyak negara, termasuk Indonesia. Bahkan, sejak 2014 pemerintah kita menjadikan May Day—demikian istilahnya—sebagai hari libur nasional.
Bagaimana Islam Memandang Buruh?
Pandangan Islam terhadap kaum buruh atau pekerja bertolak dari keyakinan, antara majikan dan kaum tersebut bertujuan selaras. Kedua belah pihak ingin meraih kemaslahatan dalam hidup di dunia dan akhirat. Buruh bagi seorang pemilik perusahaan semestinya dipandang sebagai rekan menggapai kesejahteraan dan ketentraman hidup.
Pusat perhatian buruh biasanya pada upah. Dalam sebuah hadits riwayat Mustawrid bin Syadad, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.”
Abu Bakar ash-Shiddiq menuturkan, “Aku diberi tahu bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.’” Dari hadits riwayat Abu Daud itu, secara ringkas berarti Islam memandang upah tak sekedar uang.
Islam melihat upah untuk buruh dalam kerangka moral. Esensi upah juga berdimensi ukhrawi karena berkaitan dengan pahala dan ridha Ilahi. Hal inilah yang cenderung membedakan perspektif Islam daripada isme-isme yang bermunculan di Barat.
Hanya saja, masih terdapat poin-poin persamaan. Misalnya, Islam pun memandang penting dua prinsip ini soal upah: keadilan dan kelayakan.
Perbedaan upah diperbolehkan sepanjang memenuhi aspek keadilan. Dengan begitu, adanya pembedaan dapat dipandang layak. Misalnya, seorang yang berpendidikan tinggi dengan kemampuan manajerial yang mumpuni. Ia wajar mendapatkan bayaran yang lebih tinggi daripada seorang pekerja di lapangan dengan beban pekerjaan yang tak kompleks.