BURUH DALAM PANDANGAN ISLAM: MERUJUK PADA KUNTOWIJOYO (2)

0
334

Beda Islam dan Marxisme Soal Kelas Sosial

JIC, JAKARTA–Satu hal penting lainnya. Paradigma Islam berbeda dengan marxisme atau komunisme dalam memandang masyarakat sosial. Mengutip sejarawan Islam (alm) Kuntowijoyo, marxisme menganggap kesadaran kelas sosial sebagai sesuatu yang penting.

Pertentangan antarkelas terjadi sedemikian rupa sehingga kelas buruh mengalahkan atau bahkan menghapus sama sekali kelas pemodal (borjuis). Karl Marx antara lain meramalkan hal itu, sekalipun sampai hari ini ramalannya tak kunjung terwujud.

Mengapa perlu dipertentangkan antarkelas sosial? Semua itu karena Marx menilai, kesadaran manusia ditentukan kondisi-kondisi materiilnya. Dalam era kapitalis, kaum borjuis memiliki alat-alat produksi, sehingga dapat menindas kaum buruh. Marx mengimpikan, kaum buruh dapat merebut alat-alat produksi dari kalangan yang berjumlah minoritas itu, sehingga sosialisme yang dinubuatkannya terjadi.

Sebaliknya, dalam Islam, tak mesti kaum pemodal dan buruh dipertentangkan secara vis-a-vis.

Kuntowijoyo menggarisbawahi, kesadaran manusia tidak ditunjang kondisi materil, melainkan terutama keimanan. Seseorang bisa saja menjadi insan yang berkemajuan (baca: beriman), sekalipun hidup dalam kemelaratan materi.

Karena itu, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak mengenal kelas-kelas sosial. Meskipun begitu, para sarjana Islam boleh saja memakai analisis kelas sosial untuk membahas jalinan kepentingan di tengah masyarakat.

Secara tegas, Islam juga menolak konsep pertentangan kelas. Paradigma pengilmuan Islam yang digagas Kuntowijoyo menghimpun dari Alquran pelbagai konsep.

Sebagai contoh, konsep dhu’afa dan mustadh’afin. Kuntowijoyo mengartikan masing-masing sebagai ‘orang kecil’ dan ‘orang teraniaya.’ Lihat misalnya surah al-Baqarah ayat 266 dan surat an-Nisa ayat 75.

Menurut guru besar Ilmu Sejarah UGM itu, Alquran memakai kata dhu’afa untuk menggambarkan kesenjangan natural yakni kemiskinan. Sementara itu, kata mustadh’afin untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural.

Untuk mengatasi kesenjangan natural, lanjut dia, Islam memiliki cara-cara. Misalnya, zakat, infak, dan sedekah. Ketiganya juga berfungsi untuk membuka mobilitas sosial. Kesenjangan natural pun dapat diatasi tanpa peran langsung negara (penguasa politik).

Sebaliknya, kesenjangan struktural memerlukan penguasa politik alias negara turun tangan.

photo

alm. Prof Kuntowijoyo (sumber: tangkapan layar wikipedia)

Pertanyaannya: apakah dalam Islam ukuran kemajuan ditentukan hitung-hitungan materiil? Misalnya, berkurangnya jumlah orang kecil dan orang teraniaya? Ternyata, tidak serta-merta begitu.

Kuntowijoyo mengutip Alquran surah al-Ahzab ayat 22. Firman Allah SWT itu menegaskan, ukuran kemajuan adalah bertambahnya iman. Terjemahannya, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”

Maka segala hal di luar keimanan merupakan urusan yang dianggap perlu, tetapi bukan esensial demi kemajuan.

Kembali ke soal pertentangan kelas. Penindasan atas kaum buruh itu masuk dalam konteks kesenjangan struktural. Artinya, korbannya adalah mustadh’afin.

Mengikuti logika Kuntowijoyo, misi politik yang islami dapat dijalankan untuk menghadirkan solusi atas kesenjangan struktural. Solusi itu tak mesti hirau, apakah orang-orang teraniaya (mustadh’afin) itu terdapat di kelas buruh atau kelas borjuis. (Tentu saja biasanya terdapat di kelas buruh.)

Dengan pengilmuan Islam, perjuangan pembebasan kaum teraniaya tak mesti menyuguhkan adegan pertentangan frontal. Fokusnya bukan satu kubu melenyapkan kubu yang lain, melainkan pembenahan sistemik yang menyeluruh supaya muncul aturan main yang adil bagi semua.

Dalam hal kapitalisme, misalnya, barangkali satu pertanyaan awalnya adalah: apakah sistem moneter kini, yang bertumpu pada uang kertas, sudah adil? Intinya, jangan sampai ada pihak, siapapun itu, yang seolah-olah berlegitimasi untuk menciptakan kekayaan tanpa kerja alias dari ketiadaan (out of thin air). Inilah, barangkali, mengapa Islam mewanti-wanti bahwa riba diharamkan dan jual-beli itu halal.

 

 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 + 17 =