DISERTASI MONASH UNIVERSITY: AGAMA TAK JADIKAN TERORIS (4)

0
233

Tragedi umat Islam di Tanjung Priok, 14 September 1994. Peristiwa kekerasan kepada umat Islam pada zaman Orde Baru yang sampai kini masih menyimpan banyak pertanyaan.  Foto:

Agama bukan penyebab seseorang jadi teroris melainkan soal sosial dan maskulinitas.

Maskulinitas Orde Baru

JIC, — Seperti yang saya sebutkan di komentar pembukaan saya di atas, saya memang memiliki beberapa rekomendasi kecil untuk revisi yang mungkin dipikirkan oleh Ismail ketika ia bergerak, seperti yang saya pikir seharusnya, untuk mengubah tesis ini menjadi buku akademik atau perdagangan. Saya sama sekali tidak merasa bahwa disertasi dalam bentuk saat ini butuh revisi; komentar saya di sini adalah untuk revisi tesis dan semoga segera dalam buku.

Kedua dari rekomendasi tersebut bersifat minor dan berkaitan dengan organisasi dan / atau presentasi; yang ketiga lebih substantif secara intelektual.

Rekomendasi pertama saya adalah bahwa, untuk tujuan buku ini, mungkin lebih masuk akal untuk meningkatkan substansi Bab 4 (“Desain dan Metodologi Penelitian”) ke Bab 1, dan untuk mempersingkat diskusi. Sebagai pembaca, saya merasa aneh bahwa, empat bab penuh ke dalam tesis dan setelah banyak diskusi substantif, kita kembali dalam Bab 4 ke diskusi desain dan metodologi penelitian.

Menurut bacaan saya, penempatan bahan-bahan penting tetapi pada dasarnya pengaturan adegan ini di bagian tengah tesis / buku agak aneh, dan mengganggu narasi yang penulis mulai ceritakan dengan baik berkenaan dengan pejuang asing Indonesia.

Rekomendasi kedua saya sama kecilnya, tetapi untuk keperluan presentasi buku, mungkin strategis. Yaitu, saya menemukan bahwa ringkasan penulis tentang “metodologi” dan penelitian lapangan dalam kaitannya dengan 32 wawancara yang dilakukan penulis selama periode dua bulan pada tahun 2016 gagal melakukan keadilan dengan kedalaman pengetahuan dan penelitian penulis.

Dengan kata lain, setiap kali penulis berbicara tentang pengalaman penelitiannya, saya pikir itu adalah kepentingannya untuk menggarisbawahi bahwa ada dimensi “wawancara” formal untuk penelitian, dan ini dilakukan pada tahun 2016, tetapi ada juga beberapa tahun partisipasi orang pertama dan aktivisme dalam lingkaran pejuang asing.

Rekomendasi ini bagi saya mungkin terdengar sepele, tetapi saya pikir jujur ​​dan strategis bagi ‘Pak’ Huda untuk membedakan antara wawancara formal dan pengalaman yang lebih umum atau difus yang, bahkan jika bukan penelitian yang ditunjuk secara formal, dengan jelas mendukung penelitiannya. Menekankan dua bulan wawancara penelitian gagal untuk melakukan keadilan untuk panjang dan kedalaman penelitian yang telah dilakukan oleh penulis disertasi.

Poin ketiga saya lebih substantif, dan berkaitan dengan model maskulinitas hegemonik yang terhadap para aktivis mujahidin dalam beberapa hal menempatkan diri mereka sendiri. Dalam menjelaskan model Indonesia dan pertunjukan maskulinitas hegemonik, Mr. Ismail membuat pengamatan berikut pada hal. 52: “sebagai mantan jenderal militer dengan latar belakang Jawa, Soeharto memposisikan dirinya sebagai cita-cita maskulin hegemonik sekuler negara.”

Mr. Ismail mengemukakan hal yang sama pada hal. 90, sementara juga berpendapat bahwa Abdullah Sungkar dari Jemaah Islamiyah menyajikan model alternatif, konter-hegemonik maskulinitas dengan yang dari presiden otoriter. Penulis dapat menyebut hal ini sesuai keinginannya, tetapi, dengan bacaan saya, identifikasi Soeharto sebagai “cita-cita maskulin hegemonik sekuler negara” sangat dilebih-lebihkan dan terlalu berpusat pada negara untuk menjadi realistis secara sosiologis. Sebuah model maskulinitas secara efektif hegemonik jika dan hanya jika ia mempraktikkan pengaruh yang hidup dan efektif pada pemahaman dan praktik kinerja di antara populasi bawahan tertentu.

Mengingat kontrol yang efektif, negara Orde Baru menjalankan politik dan masyarakat Indonesia dari tahun 1966 hingga 1998 orang mungkin tergoda untuk berasumsi bahwa kontrol tersebut diperluas hingga identifikasi diri dan kinerja maskulinitas yang dilakukan oleh laki-laki di kota, kota, dan lingkungan di seluruh Indonesia. Indonesia.

Tetapi pada kenyataannya saya pikir bukti untuk determinisme gender yang menyeluruh ini lemah, dan identifikasi Soeharto sebagai contoh dari hegemoni maskulinitas mengesampingkan konsep hegemoni maskulinitas dari makna yang tepat dan kekuatan performatifnya.

Indonesia Orde Baru, dan Indonesia pada umumnya, adalah masyarakat yang sangat berbeda, dikelompokkan dan dipisahkan berdasarkan kelas, etnis, dan agama serta gender.

 

 

 

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 1 =