Situasi Ukraina dan Rusia terus menegang setelah kedua negara saling menuduh mengerahkan pasukan dan alat tempur ke perbatasan bersiap menyerang. (Foto: Dimitar DILKOFF / AFP)
Jakarta, JIC — Ketegangan Rusia dan Ukraina semakin memanas sejak Moskow dituduh tengah mempersiapkan invasi ke negara bekas pecahan Uni Soviet itu dalam waktu dekat.
Pasukan Rusia yang kian menumpuk di dekat perbatasan Ukraina semakin memicu kekhawatiran pemerintahan Presiden Vladimir Putin bisa kapan saja menyerang Kiev.
Sekutu Ukraina seperti Amerika Serikat hingga NATO terus mengirimkan bala bantuan keamanan dan alat tempur guna membantu Kiev mengantisipasi jika Rusia benar-benar bergerak menyerbu.
AS dilaporkan tengah mempertimbangkan mengirim hingga 8.500 pasukan ke negara-negara NATO di Eropa Timur hingga sistem rudal demi mengantisipasi manuver militer Rusia ke Ukraina.
Situasi Terkini di Perbatasan Rusia-Ukraina
Per Januari 2022, intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina melaporkan Rusia telah menempatkan lebih dari 127 ribu pasukan di dekat negaranya. Sebanyak 21 ribu merupakan personel angkatan udara dan laut.
Rusia juga disebut mengirimkan lebih banyak rudal taktis-operasional Iskander ke perbatasan, dan meningkatkan aktivitas intelijen mereka terhadap Ukraina, menurut kementerian tersebut.
Padahal, AS dan negara Eropa telah melayangkan ultimatum keras soal konsekuensi berat dan sanksi jika Putin terus bergerak melancarkan invasi ke Ukraina.
Intelijen AS pada Desember lalu memperkirakan Rusia bakal menyerang Ukraina di awal 2022.
Di akhir 2021, gambar satelit menunjukkan peralatan militer Rusia, termasuk senjata self-propelled, tank perang, dan kendaraan tempur infanteri, beraktivitas di tempat latihan yang diperkirakan berjarak hanya 300 kilometer dari perbatasan Ukraina.
Rusia juga telah mengosongkan kantor kedutaan mereka di Ukraina. Hal itu semakin memperbesar asumsi bahwa Rusia tengah merencanakan pergerakan militer ke Ukraina.
Pejabat keamanan Ukraina menuturkan, sebanyak 18 anggota keluarga diplomat Rusia dipulangkan menggunakan bus pada 15 Januari. Sekitar 30 anggota lain ikut dipulangkan beberapa hari setelahnya.
Pengosongan ini menimbulkan kekhawatiran Rusia benar-benar bersiap untuk menginvasi Ukraina.
Terlepas dari ketegangan kedua belah pihak, utusan Rusia dan Ukraina berkomitmen menjaga gencatan senjata yang rapuh di wilayah Ukraina timur yang bergolak selama pembicaraan di Paris, Prancis, pada Rabu (26/1).
Utusan Rusia,Dmitry Kozak, mengatakan “terlepas dari semua perbedaan interpretasi, kami sepakat bahwa gencatan senjata (di Ukraina timur) harus dipertahankan oleh semua pihak sesuai dengan kesepakatan.”
“Kami membutuhkan jeda tambahan. Kami berharap proses ini akan membuahkan hasil dalam dua minggu,” seperti dikutip AFP.
Penyebab Konflik
Relasi Ukraina yang kian mesra dengan AS dan NATO dinilai menjadi sumber ketegangan dengan Rusia.
Putin berulang kali membantah merencanakan invasi terhadap Ukraina dan menegaskan bahwa Rusia tidak mengancam negara mana pun.
Meski begitu, Rusia membela langkahnya yang terus mengerahkan pasukan ke perbatasan dengan dalih bahwa itu merupakan kedaulatan dan haknya untuk menggerakan militer di dalam teritorial sendiri.
Rusia malah menganggap negara Barat yang memicu kegaduhan menyusul aliran bantuan keamanan dan senjata dari negara NATO terhadap Ukraina. Menurut Rusia, langkah NATO tersebut mengancam keamanan negaranya.
Dikutip CNN, Kremlin juga menuding balik Ukraina yang justru mengerahkan pasukan ke perbatasan dekat Rusia.
Presiden Putin juga menuntut sejumlah permintaan terhadap NATO untuk tidak menerima keanggotaan Ukraina dan berhenti memperluas pengaruh di negara-negara dekat perbatasannya.
Sementara itu, Ukraina menanggap Rusia tak memiliki hak melarang Kiev menjalin kedekatan dengan siapa pun, termasuk NATO.
Pemerintahan Presiden Volodymyr Zelensky menegaskan Ukraina bisa berhubungan dan menjalin kerja sama dengan negara mana pun sesuai pilihan sendiri, termasuk dengan NATO.
Sejarah Konflik Rusia-Ukraina
Ini bukan pertama kalinya Rusia dan Ukraina menegang.
Rusia dan Ukraina pernah terlibat konflik terbuka pada akhir 2014 ketika Moskow mencaplok Semenanjung Crimea.
Eskalasi bermula pada akhir 2013 lalu. Presiden Ukraina kala itu, Viktor Yanukovych, membatalkan pembicaraan kerja sama politik dan perdagangan dengan Uni Eropa atas tekanan dari Rusia.
Demonstrasi menuntut Yanukovych pun bergulir di Ukraina hingga akhirnya pemimpin Ukraina pro-Rusia tersebut digulingkan.
Moskow mengecam penggulingan Yanukovich yang dinilai sebuah plot kudeta. Rusia saat itu bahkan berkeras tak mengakui pemerintahan baru Ukraina.
Penggulingan Yanukovich pun memicu perpecahan internal menjadi dua golongan yakni pro-Uni Eropa dan pro-Rusia.
Kelompok pro-Uni Eropa sebagian besar berasal dari warga dan politikus daratan Ukraina. Sementara itu, kelompok yang mendukung Rusia sebagian besar berasal dari warga Crimea dan wilayah tetangganya yang berbatasan dengan Negeri Beruang Merah.
Tak lama setelah penggulingan Yanukovich, kelompok pemberontak bersenjata mulai mengepung fasilitas dan pos-pos penting di Semenanjung Krimea.
Para pemberontak itu memakai seragam tempur mirip tentara Rusia tanpa lencana pengenal dengan kemampuan menggunakan senjata yang handal.
Presiden Vladimir Putin awalnya menyangkal bahwa pasukan itu adalah tentara Rusia namun akhirnya mengakui bahwa mereka semua merupakan pasukannya setelah berhasil menduduki Crimea.
Hanya dalam beberapa hari, pasukan Rusia mampu menduduki seluruh wilayah semenanjung Crimea dengan dibantu pasukan pemberontak pro-Moskow di wilayah itu.
Sumber : cnnindonesia.com