Islam itu moderate
JIC, JAKARTA–Sesungguhnya ketika menyebut Islam, maka bagi seorang yang paham tentang agama ini secara otomatis akan memahaminya sebagai petunjuk hidup moderate. Moderate dalam arti “imbang” dan tidak melampaui batas-batas kealamiaan kemanusiaan. Dalam segala aspek ajarannya Islam itu berkarakter “imbang” (moderate).
Perhatikan misalnya aspek ketuhanan dalam Islam. Di satu sisi Tuhan digambarkan dengan beberapa penggambaran “khalqi” (ciptaan), misalnya dengan karakter melihat, mendengar, punya tangan, marah, senang (ridho), dan seterusnya. Namun di sisi lain juga semua yang memungkinkan Tuhan untuk diasosiasikan dengan makhluk tertutup rapat. Tuhan adalah “Ahad” (unik) yang “lam yakun lahu kufuwan ahad” (tiada yang mirip dengannya). Bahkan penggambaran Tuhan dengan makhluk apa saja salah dan dilarang.
Ibadah-ibadah dalam Islam semuanya berkarakter moderat. Jangan lakukan sesuatu yang melampuai kapasitas Anda. “Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya” (Al-Baqarah).
Pesan Rasulullah shalallahu alahi wassalam: “agama itu mudah”. Karenanya jangan dilebih-lebihkan dan dipersulit. Bahkan ketika di hadapan Rasulullah ada dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah.
Mungkin yang menyimpulkan semua itu adalah perintah menjaga “tawazun” (keseimbangan) dalam Alquran. “Dan langit Allah tinggikan dan timbangan diletakkan. Agar kamu jangan melampaui timbangan (keseimbangan)” (Ar-Rahman).
Hadits Rasulullah bahkan mengingatkan: “berhati-hatilah dengan al-ghuluw(ekstremisme). Karena ektremisme membawamu kepada kehancuran (at-tahlukah).
Dari semua ini saya menyimpulkan bahwa moderasi itu adalah komitmen kepada agama apa adanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Agama dilakukan dengan penuh komitmen, dengan mempertimbangkan hak-hak vertikal (ubudiyah) dan hak-hak horizontal (ihsan).
Dilemanya memang ketika manusia tidak jujur dalam mendefenisikan moderasi. Atau sebaliknya ketika kata “radikalisme” menjadi santapan kepentingan sesaat, termasuk politik. Lalu moderasi atau sebaliknya radikalisme didefenisikan berdasarkan kepada “kepentingan” masing-masing.
Banyak orang yang melihat biarawati itu moderate dalam beragama. Tapi ketika melihat wanita Muslimah menolak membuka aurat di umum, dengan mudah dituduh “ekstrim”.
Banyak orang yang tidak peduli dengan Yahudi orthodox dengan janggutnya. Atau Kristen orthodox dengan jubah dan sorbannya. Tapi ketika seorang Muslim berjanggut panjang dan berjubah boleh jadi itu adalah perilaku ekstrim.
Karena itu, saya khawatir jika pengistilahan ini bagi banyak orang tidak lebih dari sebuah alat untuk kepentingan yang lebih besar. Persis ketika oposisi di Suriah dituduh radikal dan teroris. Atau ketika Ikhwanul Muslimin dengan mudah dilabeli oleh presiden Sisi sebagai gerakan radikal dan teroris.
Dalam situasi dunia seperti itu Indonesia harusnya berkaca. Bahwa kemerdekaan negara ini tidak lepas dari komitmen bergama para pejuang terdahulu. Mereka bukan radikal atau antinegara. Justru mereka dengan semangat agamanya memperjuangkan kemerdekaan.
Ingat gema takbir Bung Tomo. Ingat komitmen dzikirnya Jenderak Sudirman. Ingat akidah KH Agus Salim yang tidak penah goyah. Demikian semua pejuang yang dengan airmata dan darah mereka kita menikmati kemerdekaan saat ini.
Maka menuduh umat yang komitmen terhadap agamanya sebagai radikal adalah kegagalan total dalam memahami sejarah perjuangan, sekaligus kegagalan total dalam mengapresiasi perjuangan pendahulu bangsa. Karena bagi Muslim Indonesia sejati, komitmen beragama tidak mengurangi loyalitas secuilpun kepada negara.
Kalau di Amerika ada slogan: “For God and Country”. Maka umat Islam Indonesia mengatakan dengan iman dan Islam kita bangun bersama bangsa dan negara tercinta.
Akhirnya saya ingin meyakinkan kita semua bahwa hanya dengan pemahaman sekaligus praktek yang benar, agama akan membawa kepada kebajikan umum. Jika ada pengakuan beragama tapi membawa kemudhoratan, termasuk kebencian dan permusuhan, maka itu bukan Islam yang sesungguhnya.
Demikian pula sebaliknya, pengakuan Islam seraya menginjak-injak dan merendahkan ajarannya, termasuk merendahkan bahkan memusuhi mereka yang berkomitmen dengan ajarannya, juga bukan Islam yang sesungguhnya. Tapi boleh jadi itu kemunafikan atas nama moderat. God forbids!
New York, 14 Januari 2019
Imam Shamsi Ali :Presiden Nusantara Foundation
sumber : republika.co.id











