JIC,– Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa.
Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman: “..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan: “Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah.”
Al Imam Abu Sa’id ibn Lubb mengatakan: “Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut.
Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara’ seperti doa misalnya”.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari: “Ibnu Baththal mengatakan, ‘Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’.” (Kitab Fathul Bari, 9/14)
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar “وَكَذَا تَرْكُهُ” menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.
Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?” Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut.
Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru’. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar’i.
Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77) Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya.
Kaidah mengatakan: “Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya).” Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang.
Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru’ dan tidak disebut sebagai bid’ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut.
Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar’i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari’at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman.
Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari’at, padahal jelas penghinaan terhadap syari’at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid.
Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya.
Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul).
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan.
Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.
Sumber : nu.or.id