
JIC, JAKARTA– Ekonomi Islam pada dasarnya dibangun berdasarkan sistem ekonomi pasar. Anda bisa lihat kembali kitab fiqih. Pasal pertama dalam muamalah selalu berbicara soal jual beli (bai‘) yang berisikan penjelasan tentang syarat dan rukun jual beli, serta pembagian jual beli apakah sah atau tidak dilihat dari sisi akad dan barang.
Berpaku pada bangunan utama bahwa sistem ekonomi Islam adalah berdasarkan ekonomi pasar, maka seharusnya “keadilan ekonomi” di wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah bukan lagi menjadi bahan pertanyaan yang penting dalam keseharian masyarakat.
Namun, faktanya pertanyaan itu tidak bisa hilang. Bahkan dalam situasi BBM (Bahan Bakar Minyak) sedang naik atau turun, harga barang mengalami inflasi atau deflasi, selalu saja hal ini dijadikan alasan telah terjadi ketidakadilan dalam sistem ekonomi.
Padahal, bagaimanapun juga, dalam sistem ekonomi pasar, selalu berlaku yang dinamakan keadilan pasar. Barang yang harganya tinggi dengan kualitas yang biasa tidak akan laku dijual, sementara barang yang diproduksi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak memiliki pangsa internasional, akan tetap dinilai tinggi manakala kualitas barang juga tinggi. Inilah prinsip keadilan pasar itu.
Rukun pasar dalam hukum ekonomi Islam, antara lain adalah wajib adanya produsen, konsumen, distributor dan pemerintah serta institusi ekonomi.
Anda bisa membuka kitab Ihyâ Ulum al-Dîn li al-Ghazâli, Juz 4. Asal muasal dari rukun ini adalah wajib adanya produsen dan konsumen saja. Namun, seiring pertimbangan distribusi ke berbagai wilayah, maka masuk di dalamnya ada distributor produk.
Pemerintah berperan mengawasi harga lewat institusi ekonomi yang didirikannya serta berperan memberikan jaminan terhadap keberlangsungan transaksi antara produsen dan konsumen tersebut sehingga tidak ada yang dirugikan antara satu sama lain (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94).
sumber : nu.or.id











