Mereka yang lulus sekolah
JIC, — Ada beberapa perempuan muda, yang meskipun ada kesenjangan digital, konflik yang berkelanjutan, ketidaksetaraan gender dan Covid-19, masih mampu menjadi inspirasi.
Tahun lalu Shamsia mendapat nilai paling tinggi dari 170.000 pelamar dalam ujian masuk universitas Afghanistan.
Sebagai putri seorang penambang batu bara, ia dibesarkan di salah satu daerah yang paling miskin dan rentan di Kabul.
Pada tahun 2018, sekolahnya diserang oleh kelompok yang menyebut diri sebagai Negara Islam, atau yang dikenal sebagai ISIS. Lebih dari 46 rekan mahasiswanya tewas.
Kemudian pada tahun 2020, setelah pindah ke lingkungan baru, sekolah barunya juga diserang oleh ISIS.

“Belajar di Afghanistan sulit dan saya memiliki banyak ketakutan. Tetapi pusat pendidikan kami telah mengambil beberapa langkah keamanan yang membantu saya merasa lebih aman.
“Dan ketika Anda begitu sibuk belajar, tidak ada banyak waktu untuk memikirkan keamanan,” kata Shamsia.
Setelah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki, Shamsia kini sedang menjalani pelatihan untuk menjadi seorang dokter.
ISIS, ancaman baru
November lalu, Shahla sedang mengajar di Universitas Kabul ketika beberapa pria bersenjata menyerbu kampus dan melepaskan tembakan di ruang kelas sebelah.
“Saya sedang berada di sebuah pameran buku ketika tiba-tiba saya mendengar suara tembakan terus menerus. Para siswa dengan putus asa berlarian ke mana-mana, ada yang menangis, ada yang segera menelepon, dan ada yang berlari menuju gerbang utama,” kata Shahla.
Ketika pasukan keamanan pemerintah tiba, pertempuran pecah antara kedua belah pihak yang berlangsung berjam-jam.
Sebanyak 22 orang kehilangan nyawa dan lebih dari 22 terluka.
“Sebagian besar korban adalah perempuan,” kata Shahla.
“Dan bahkan polisi tidak ingin membantu perempuan yang terluka dan melarikan diri dari tempat kejadian karena mereka percaya menyentuh perempuan adalah haram.”
“Tapi kemudian ketika pasukan khusus tiba, mereka membawa gadis-gadis itu.”
ISIS kemudian mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, dan mengatakan mereka menargetkan “wisuda para hakim dan para penyelidik yang bekerja untuk pemerintah Afghanistan yang murtad.”
ISIS-K, cabang dari kelompok pemberontak jihad, dibentuk di Afghanistan pada tahun 2014.
Sejak itu, mereka mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan paling mematikan di ibu kota termasuk pusat pendidikan dan sekolah.
Perempuan dan anak-anak, termasuk bayi yang baru lahir, menjadi sasaran salah satu serangan paling keji yang diklaim oleh ISIS tahun lalu.
Sebuah serangan di bangsal bersalin rumah sakit menyebabkan 16 orang tewas dan 16 lainnya luka-luka.
Bagi seorang pendidik berdedikasi, Shahla, eskalasi kekerasan oleh kelompok pemberontak seperti ISIS dan perluasan wilayah Taliban adalah alasan dia harus sekali lagi mulai mengumpulkan buku-buku.
“Saya harus memastikan bahwa saya memiliki cukup uang untuk membeli tenda, buku-buku, dan pena karena saya tahu Taliban tidak akan mengizinkan anak perempuan untuk belajar di sekolah.
“Bahkan sekarang ketika mereka mengambil alih sebuah distrik, hal pertama yang mereka lakukan adalah menutup sekolah perempuan.”
Sumber : bbcindonesia.com