MENANGGAPI KRITIK TANPA DENDAM (2)

0
269

Mencontoh Nabi

JIC,– Banyak contoh yang dapat kita jadikan bahan renungan berkaitan dengan tradisi akademis dan ulama dalam hubungannya dengan menanggapi kritik. Berikut ini dikemukakan beberapa contoh.

Seorang linguis lulusan luar negeri bergelar Ph.D. menjadi pemateri dalam seminar internasional. Pada kesempataan berdikusi, ada seorang peserta yang mengkritik teori yang dijadikannya sebagai referensi pendapat. Hal yang menarik adalah pengkritik itu memilih cara  tidak langsung. Dia bertanya, “Maaf. Apakah Bapak sudah membaca (sambil menunjukkan buku yang dipegangnya) buku ini?”

Bagaimana respon pemateri tersebut? Dengan jujur, dia menjawab, “Belum. Jika Bapak berkenan, saya akan membacanya atau Bapak berkenan menyampaikannya secara ringkas.”

Disampaikanlah secara padat salah satu bab yang berisi kritik terhadap teori yang dijadi­kan rujukan pemateri. Lalu, pemateri mengucapkan terima kasih dan tetap berniat untuk mempelajari buku itu.

Sikap akademis yang lebih menarik lagi berkenaan dengan menghadapi kritik adalah ketika ada pemateri yang secara kesatria mengatakan, “Maaf. Saya belum dapat menjawab pertanyaan Saudara.” Apakah peserta seminar menertawakannya? Tidak! Menjawab dengan, “Saya tidak tahu” bukan aib. Imam Malik pun pernah menjawab, “Saya tidak tahu” jika memang tidak tahu!

Ada lagi tradisi akademis yang tidak kalah menariknya. Seorang promotor disertasi telah menyetujui draf disertasi mahasiswa yang dibimbingnya. Mahasiswa itu selanjutnya diarahkan untuk berkonsultasi dengan kopromotor. Kemenarikan kasus ini adalah ketika kopromotor mengkritik atau mengomentari teori yang dijadikan referensi mahasiswa, dia tidak melaku­kannya di depan mahasiswa, tetapi berbicara langsung dengan promotor itu tentang kelemahan teori itu. Bagai­mana respon promotor? Dengan kelapangan hatinya, dia merespon, “Nah, itulah fungsi kopro­motor!”

Seorang guru besar salah satu perguruan tinggi yang berkelas internasional sedang menulis buku. Ketika mengajar di pascasarjana, dia membahas suatu topik. Materi yang dibahasnya diambil dari draf buku itu. Setelah menyampaikan uraiannya, profesor itu memberikan kesem­patan kepada mahasiswa untuk mengkritisi pendapatnya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa. Dia mengkritisi pendapat profesor itu. Bagaimana respon mahaguru itu? Ia berterima kasih kepada mahasiswa tersebut, bahkan, memberinya nilai A.

Fenemona berikut ini pun sangat menarik: ada pejabat publik yang berlatar belakang akademisi. Di antara mereka, ada yang bergelar akademik Ph.D, bahkan, berjabatan fungsional profesor. Namun, dia istiqamah (meminjam istilah Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar) dalam menghadapi kritik, olok-olok, celaan, dan fitnah. Dengan kelapangan hati dan pikirannya, dia menang­gapinya. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan olok-olok itu. Dia menang­gapinya tanpa kemarahan, apalagi dendam, padahal dari segi cara menyampaikan kritik tersebut, sarat olok-olok. bahkan, sering mengarah ke fitnah. Dia sangat selektif; dapat menentukan  mana yang perlu dan mana yang tidak perlu ditanggapi.

Irena Handono et al. menulis buku Islam Dihujat Menjawab Buku The Islamic Invasion. Buku itu berisi jawaban atas fitnah dan olok-olok Robert Morey terhadap Islam. Salah satu olok-olok Morey adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penderita epilepsi. Olok-olok itu dijawab oleh Handono dengan memaparkan lebih dahulu secara padat, tetapi utuh olok-olok Morey tentang keadaan Muhammad shallallahu a’alaihi wa sallam ketika menerima wahyu, yakni menggigil kedinginan, menetes-netes keringatnya, kejang-kejang, dan dari mulutnya keluar busa. Apabila sudah sadar kembali, dia lalu membacakan apa yang dikatakannya sebagai wahyu.

Dalam menjawab olok-olok itu, Handono menjelaskan bahwa gejala epilepsi yang dise­butkan oleh Morey sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Handono mengata­kan bahwa serangan epilepsi tidak akan meninggalkan bekas yang dapat diingat oleh penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan, penderitanya lupa sama sekali apa yang telah dialaminya. Penyebabnya adalah segala pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total. Dijelaskan juga oleh Handono bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya (hlm. 242-243).

Di kalangan ulama pun ada yang tidak tergesa-gesa menanggapi kritik, olok-olok, bahkan juga fitnah. Boleh jadi, dia bermaksud menjaga nama baik sesama ulama. Dia tidak ingin mempermalukannya. Rupanya dia sangat yakin dan masyarakat juga memahami bahwa substansi kritiknya berbeda dari substansi yang dibahasnya, bukan masalah argumen. Jadi, jika kritik itu ditanggapi tentu mempermalukan pengritik. Mungkin karena ulama yang dikritik tidak (segera) menanggapi kritik yang disampaikan dengan gaya “mengolok-olok”, ada ulama lain (yang juga guru besar di perguruan tinggi) yang memberikan “pencerahan”. Dia “menguatkan” kebenaran pendapat ulama yang dikritik, sedangkan kepada pengritik, dia berkomentar bahwa penda­patnya betul, tetapi berbeda dari topik yang dibahas ulama yang dikritiknya.

Orang atau kelompok yang sadar akan keterbatasannya, justru sangat terbuka sikapnya menerima kritik, bahkan, celaan, olok-olok, atau fitnah sekalipun. Dalam tradisi akademis, kritik malahan dinyatakan sebagai hal yang sangat penting. Bukankah kemajuan sains dan teknologi dibangun melalui kritik? Melalui penelitian, para peneliti melakukan kajian secara kritis terhadap temuan yang telah ada. Lalu, mereka menyempurnakannya atau membangun teori baru. Namun, teori yang ditemukannya itu boleh jadi bersifat mantap dalam kurun waktu tertentu, tetapi dinamis meskipun kedinamisan itu tidak berarti berlaku hanya dalam hitungan bulan apalagi pekan.

Di dalam buku Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan karya Achmad Baiquni, misalnya, dikemukakan temuan di bidang sains dan teknologi sebagai hasil penelitian. Temuan itu berupa teori baru. Sebagai temuan baru, teori itu merupakan bantahan atau kritik terhadap teori lama. Di antara temuan baru itu adalah temuan Abu Raihan Al Bairuni. Di dalam buku karya Baiquni itu (hlm. 9) dijelaskan oleh Baiquni bahwa Al Bairuni mengkritik model alam Plotemaeos, yang geosentris, secara fisis tidak masuk di akal karena langit, yang begitu besar, dengan bintang yang katanya menempel padanya dinyatakan berputar mengelilingi bumi sebagai pusat.

Baiqui selanjutnya menjelaskan bahwa ketika enam abad kemudian Johann Kepler berhasil menemukan hubungan antara waktu edar planet-planet dengan sumbu utama elips masing-masing, maka muncullah pada abad XVII karya Isaac Newtown “Principia” yang berisi teori gra­vitasinya. Sejak itu orang mengetahui apa kendala yang mengekang planet tata surya untuk ber­gerak mengitari matahari.

Sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

6 + thirteen =