Amar Ma’ruf Nahi Munkar
JIC,– Secara sederhana dan populer dapat kita pahami bahwa beramar ma’ruf nahi munkar adalah menyeru atau mengajak berbuat kebajikan dan mencegah kemunkaran.
Ada tiga strategi beramar ma’ruf nahi munkar itu mencapai tujuan, yakni (1) menasihati, berdikusi, atau berdebat, (2) menjadi teladan, dan (3) mendoakan. Namun, ada satu lagi dan ini bukan sekadar tambahan, yakni Allah memberikan hidayah.
Hal yang sangat penting dipahami pula adalah bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Allah. Meskipun demikian, ikhtiar, baik yang mengajak maupun yang diajak, menjadi faktor yang sangat penting. Bahkan, perlu ada kesejalanan. Ketika pihak yang mengajak “mendoakan”, pihak yang diajak pun berdoa dan berikhtiar agar mampu dan mau berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.
Pada akhir-akhir ini fenomena mengkritik makin memprihatinkan. Kita dengan mudah dapat mendengar tuturan dan/atau membaca tulisan yang dimaksudkan untuk mengkritik. Baik dari segi substansi, cara, maupun bahasanya sangat sensasional dan provokatif, bahkan, sering juga mengarah pada fitnah, terutama yang bernuansa politik.
Tuturan yang sangat mengejutkan adalah penyebutan bagi kelompok yang berbeda aspirasi politik dengan kata celeng. Kata itu diucapkan oleh public figure, bukan “orang rendahan”. Bagi orang Indonesia, khususnya suku Jawa, kata itu merupakan makian yang bernilai rasa sangat kasar dan sering digunakan oleh penutur yang sangat kecewa atau marah. Biasanya makian semacam itu digunakan oleh orang yang berpendidikan rendah atau nirpendidikan.
Di media sosial, dengan mudah dapat kita temukan judul berita yang juga bernilai rasa kasar. Malahan, sering ada perbedaan antara judul dan isi yang disampaikan. Hebatnya lagi, ada foto editan yang mendukung judul, tetapi isinya sama sekali tidak sesuai.
Kita dengan mudah juga dapat mengetahui di media sosial orang-orang yang selalu mengkritik. Di antara mereka, ada yang mengkritik dengan argumen ilmiah, tetapi ada pula yang tanpa argumen sama sekali. Ada pula pengritik yang berargumen, tetapi argumennya lebih bernuansa suka atau tidak suka.
Ada juga orang-orang yang suka sekali menjelek-jelekkan lawan politiknya dengan berbagai cara, termasuk memfitnah. Mereka tidak pernah berargumen atau kalaupun berargumen, sangat berbuansa kebencian atau kedengkian. Mereka melakukan demikian karena mempunyai tujuan akhir menjatuhkan lawan politiknya.
Ada lagi: gegara perbedaan aspirasi politik, sesama anak bangsa saling mengolok-olok. Di antara mereka ada orang yang berpendidikan (tinggi). Ironisnya mereka seperti lupa akan masa lalunya atau menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak tidak mengetahuinya. Ketika berbeda kepentingan politiknya, mereka pernah berseteru, bahkan saling mengolok-olok di ruang publik. Namun, sekarang seperti tim yang kompak dan solid. Tentu kata-kata yang digunakannya lepas dari koridor kesantunan, baik menurut kaca mata orang berpendidikan maupun lebih-lebih agama, lebih khusus lagi Islam. Ada kesan bahwa dalam hal akhlak berbicara dan/atau menulis untuk menyatakan perbedaan pendapat dan/atau sikap politik atau mengkritik, tidak ada perbedaan antara orang berpendidikan dan orang nirpendidikan.
Fenomena yang lebih memprihatinkan lagi adalah demi kepentingan politik, ada orang atau kelompok yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi anehnya demi kepentingan politik juga cukup banyak tokoh Islam yang lebih memilih diam. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar! Betapa tidak? Sebelum masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, terkesan bahwa mereka paham benar apa yang baik dan buruk; juga mengetahui apa yang benar dan salah menurut Islam.
Masih ada lagi yang tidak kalah memprihatinkan. Sesama orang Islam, bahkan, yang mengklaim satu mazhab pun, ketika menyampaikan perbedaan pendapat atau saling mengkritik, saling meremehkan. Ada di antara mereka yang merasa paling pintar dan benar. Orang dan/atau kelompok lain bodoh dan salah. Apalagi, terhadap orang atau kelompok yang berbeda mazhab!
Sikap dan tindakan yang tecermin melalui tuturan dan/atau tulisan yang bernada mencela, mengolok-olok, dan/atau meremehkan orang dan/atau kelompok lain apakah tidak kontraproduktif? Bagi bangsa Indonesia, masih sangat banyak masalah besar yang harus diselesaikan oleh semua anak bangsa lintas suku, agama, dan lintas partai. Demikian pula halnya masalah umat Islam Indonesia pun masih banyak yang harus deselesaikan secara sinergis.
Sumber : suaramuhammadiyah.id