MUI TEGAS TOLAK PUTUSAN MK SOAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN

0
306

JIC, JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan menolak putusan Mahkaman Konstitusi (MK) memasukkan aliran kepercayaan dalam UU Administrasi Kependudukan (Aminduk). “Kami menolak,” kata Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin usai menghadiri acara Silaturahmi LPPOM MUI dan Perusahaan Bersertifikat Halal di Jakarta, Kamis (16/11).

KH Ma’ruf beranggapan putusan MK tak memperhatikan kesepakatan politik berdirinya Indonesia. Ia mengatakan Tanah Air dibangun berdasarkan kesepakatan politik, seperti UUD 1945. Pun ia menyebut, aliran kepercayaan memiliki kesepakatan politik, yakni Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 yang menyebut aliran kepercayaan bukan agama. Dengan demikian, menurut dia maqam aliran kepercayaan berbeda dengan agama.

Kiai Ma’ruf menyebut Kementerian Agama (Kemenag) mengurus segala sesuatu berkaitan dengan agama. Sementara aliran kepercayaan berada dalam wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). “(Aliran kepercayaan) bukan tak diurus, (selama ini) diurus, maqamnya beda,” ujar dia.

Ketua MUI menegaskan kesepakatan politik menyatakan aliran kepercayaan bukan agama, maka tak menjadi identitas. Pemerintah, ia mengatakan, selama ini mengakomodir dan mencatat penganut aliran kepercayaan dalam basis data kependudukan. KH Ma’ruf mengingatkan apabila kesepakatan politik dirusak, maka berbahaya bagi Indonesia. Namun, ia tidak menyebut maksud dari bahaya itu.

Terkait penolakan itu, KH Ma’ruf mengatakan MUI segera menyiapkan langkah menyikapi putusan MK. Namun, ia berujar, MUI belum memutuskan langkah itu. “Pokoknya kita menolak dan meminta supaya itu tak ditindaklanjuti Kemendagri,” tutur dia.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi soal aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP memang sudah final, tapi putusan itu tak harus dieksekusi penjelasan Prof KH Ma’ruf Amin.

“Jadi, MK itu bukan artinya harus dieksekusi, ada yang pernah kita alami tidak bisa dieksekusi,” ujarnya saat mengelar rapat Ukhuwah Islamiyyah bersama Kemendikbud di Gedung MUI, Kamis (16/11).

Namun, lanjut dia, untuk tidak mengeksekusi putusan itu, MUI masih perlu melakukan diskusi dan dialog lagi untuk mengambil keputusan akhir. Sejauh ini, MUI telah melakukan diskusi secara internal dan dengan Kemendikbud untuk membahas persoalan ini. Pada Jumat (17/11) besok siang, MUI akan berdialog lagi dengan Kemenag dan Kemendagri.

Ia menceritakan, sebelumnya MUI juga pernah membuat putusan MK yang akhirnya tidak dieksekusi walaupun sudah final, yaitu pada saat MK memutuskan bahwa anak yang lahir secara tidak sah itu mempunyai hubungan keperdataan, yang berarti dia berhak mewarisi. “Nah kita tolak karena menurut hukum Islam anak yang tidak sah itu tidak berhak mewarisi. Alasan putusan MK saat itu, karena nanti anak itu akan terlantar kalau tidak mempunyai hak waris,” ucapnya.

Oleh karena itu, pada saat itu, MUI menyatakan bahwa agar anak itu tidak terlantar, bukan berarti harus melalui proses pewarisan. “Pewarisan itu dalam Islam, hubungan tidak sah itu tidak bisa saling mewarisi. Karena itu tidak benar keputusan MK itu. Tetapi untuk menghindarkan bahwa anak itu nanti tidak terlantar, kita membuat solusi dengan membuat suatu aturan, ketentuan hukum yang kita namakan shodaqah wajibah,” katanya.

Dengan sedekah wajib itu, maka pelaku hubungan tidak sah itu dipaksa untuk bertanggung jawab dengan memberikan sebagian hartanya sebagai sedekah wajib, bukan sebuah warisan. “Akhirnya keputusan MK itu tidak bisa dieksekusi oleh MA. Nah kalau memang ini (Putusan MK yang baru ini) diteruskan, akan menimbulkan kekacauan. Akan ada penolakan-penolakan yang luar biasa,” tandasnya.

Sumber ; republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 + 6 =