Apakah isu PRRI masih relevan?
JIC, JAKARTA–Sumatera Barat adalah pusat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan tersebut, yang dideklarasikan pada 10 Februari 1958, lahir dari kekecewaan masyarakat pada pemerintah pusat saat itu yang terlalu “Jawa-sentris” dan dipengaruhi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gerakan yang disebut pemerintah pusat sebagai pemberontakan itu berakhir setelah pemimpinnya, Ahmad Husein, secara resmi menyerah pada tanggal 29 Mei 1961.
Presiden Sukarno memberikan amnesti umum kepada semua orang yang menyerah pada tanggal 5 Oktober 1961.
Hak atas fotoHULTON DEUTSCH/GETTYBeberapa analis berpendapat bahwa sejarah PRRI masih menyisakan kenangan pahit bagi masyarakat Sumbar.
Ketidaksukaan kepada Sukarno itu disebut membuat kebanyakan masyarakat tidak mau mendukung PDI-P, partai putri bungsu Soekarno, Megawati, yang mengusung Joko Widodo.
Di sisi lain, ayah Prabowo adalah salah satu sosok yang mendukung PRRI. Sumitro Djojohadikusumo menjadi salah satu menteri di kabinet PRRI.
Namun seorang eks-anggota eks-PRRI membantah anggapan tersebut. Rusli Marzuki Syaria, 83 tahun, mengatakan bahwa dirinya ‘tidak menyimpan dendam’ kepada Sukarno.
Hak atas fotoBBC NEWS INDONESIARusli Marzuki Syaria bergabung dengan PRRI saat usianya 22 tahun. Ketika dideklarasikan pada 10 Februari 1958, Rusli yang saat itu telah menjadi anggota Brigade Mobil (Brimob) di Bukittinggi lari ke hutan dan bergabung dengan kompi mahasiswa ‘Mawar’ yang umumnya beranggotakan mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Andalas.
Kepada BBC News Indonesia, Rusli yang kini berusia 83 tahun mengaku dirinya waktu itu bergabung dengan ‘pemberontakan’ karena turut merasa frustasi kepada pemerintah pusat waktu itu.
Namun, menurutnya, saat ini kondisi sudah banyak berubah. “Indonesia kan sekarang sudah belajar betul dengan sejarah. Saya lihat Indonesia Timur sudah menjadi anak emas sekarang,” ungkapnya.
Hak atas fotoKEYSTONE FEATURES/GETTY IMAGESAnggapan bahwa faktor sejarah memengaruhi pilihan masyarakat Sumbar dalam pemilu kali ini pun ditepis Asrinaldi. Menurut dia, tidak semua masyarakat di Sumbar memahami sejarah PRRI dengan baik.
“Jadi kalaupun ada isu seperti itu, tidak berpengaruh banyak pada kenapa mereka cenderung tidak memilih Jokowi,” kata Asrinaldi.
Isu pelanggaran HAM Prabowo: ‘Itu baru dugaan’
Isu pelanggaran HAM yang selalu membayang-bayangi Prabowo juga ditepis oleh beberapa warga Sumbar. Prabowo kerap dituduh sebagai dalang penculikan aktivis prodemokrasi pada 1997-1998.
Indra, seorang warga di Kecamatan Batang Anai, mengatakan bahwa dirinya menganggap tuduhan tersebut sebagai rumor belaka karena hingga saat ini Prabowo tidak pernah dijatuhi hukuman.
“Kalau seandainya dia terlibat kan pasti hukum berjalan terhadap dia. Ini enggak ada kan. Ini masih dugaan orang,” tuturnya.
Hak atas fotoERIK PRASETYASementara Asrinaldi berpendapat bahwa isu kemanusiaan dan HAM hanya populer di kelompok kelas menengah.
“Masyarakat pada umumnya yang berada pada level mereka sibuk dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, saya pikir mereka tidak peduli dengan isu-isu seperti itu ya,” kata Asrinaldi.
Pendukung Jokowi ‘diam’
Meski mayoritas warga Sumbar mendukung Prabowo, relawan pemenangan Jokowi-Ma’ruf tetap giat mempromosikan sosok yang didukungnya itu.
Hak atas fotoMUHAMMAD ARIF PRIBADI/ANTARA FOTOKoordinator relawan TKN Jokowi-Ma’ruf di Sumbar, Muhammad Bayu Vesky, mengklaim bahwa simpatisan Jokowi di Sumbar selama ini cukup banyak namun cenderung berhati-hati dalam mengungkapkan dukungan mereka.
“Mereka (para pendukung Jokowi) takut selama ini, mereka diam,” kata Bayu kepada BBC News Indonesia.
Begitu kuatnya pengaruh Prabowo di Sumbar, banyak calon anggota legislatif (caleg) dari partai-partai pendukung Jokowi-Ma’ruf dikabarkan tidak memajang foto paslon tersebut di poster kampanye mereka lantaran khawatir tidak terpilih.
BBC News Indonesia













