
JIC, JAKARTA- Tapi, bukan hanya ateisme yang dianut para pelajar ini. Dalam sebuah kelompok kerja di Konya, salah satu kota paling konservatif di Turki, ada beberapa klaim bahwa sejumlah pelajar madrasah mulai meyakini deisme—keyakinan bahwa ada Tuhan pencipta tapi tidak mencampuri urusan di dalam dunia.
Keyakinan para pelajar ini, sebagaimana dilaporkan beberapa surat kabar oposisi, tumbuh karena menilai “ketidakkonsistenan dalam Islam”.
Menteri Pendidikan Ismet Yilmaz mengatakan pokja tersebut tidak punya dasar sains. Dia juga membantah semua laporan yang menyebutkan generasi taat beragama di Turki mulai mengalami perubahan.
Walau tidak ada statistik atau jajak pendapat untuk melihat seberapa luas pemahaman ini diikuti pelajar Turki, wacana adanya perubahan cukup membuat para pejabat Turki risau.

Leyla, mahasiswi
Suatu hari, saat berjalan menuju pasar, saya mencopot kerudung saya dan tidak mengenakannya lagi. Ayah saya tidak tahu saya penganut deisme. Jika dia tahu, saya khawatir dia akan mencegah adik perempuan saya menempuh pendidikan sarjana. ‘Kakak kamu belajar ke universitas, dan itu yang terjadi padanya’, mungkin itu yang ayah saya katakan. Saya tidak meminta Tuhan menciptakan saya, sehingga Tuhan tidak meminta apa-apa dari saya sebagai balasannya. Saya punya hak untuk hidup bebas seperti burung.

Kepala Direktorat Urusan Keagamaan Turki, Ali Erbas, menepis penyebaran paham deisme atau ateisme di antara kaum muda konservatif di negara tersebut.
“Tidak ada warga negara kami yang mau menganut konsep yang sedemikian janggal dan hampa itu,” ujarnya.
Profesor teologi, Hidayet Aybar, juga berkeras tidak ada pergeseran menuju deisme.
“Deisme menolak nilai-nilai Islam. Paham itu menolak Quran dan menolak nabi-nabi. Paham itu juga menolak surga dan neraka, malaikat, dan reinkarnasi. Itu semua adalah pilar-pilar Islam. Deisme hanya menerima keberadaan Tuhan,” kata Aybar.
Menurut filosfi deisme, Tuhan menciptakan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya, tapi tidak mencampuri ciptaannya dan tidak menerapkan aturan atau prinsip.
“Saya bisa memastikan kepada Anda tidak ada tendensi menuju deisme di antara kaum muda konservatif kami,” tegasnya.

Omer, pengangguran

Saya pernah menjadi pegawai negeri. Setelah upaya kudeta pada 2016, saya dipecat. Saya dulunya pemuda yang relijius, konservatif, yang sangat mendukung partai berkuasa serta kebijakannya. Saat saya dipecat, saya mulai mempertanyakan Tuhan. Saya menjadi terasing. Saya tidak menyebut diri saya sebagai penganut deisme. Saya berharap dapat membangun kembali hubungan saya dengan Islam, tapi tidak tahu apakah itu mungkin atau tidak.

Asosiasi ateisme Turki menilai pandangan Prof Aybar salah. Menurut asosiasi itu, ateisme sedang tren dan bahkan imam yang ateis pun ada.
“Di sini ada acara televisi yang berdebat apa yang seharusnya dilakukan terhadap ateis. Beberapa berpendapat mereka harus dibunuh, harus dicincang kecil-kecil,” kata juru bicara asosiasi ateis, Saner Atik.
“Perlu keberanian yang besar untuk berkata Anda adalah seorang ateis dengan kondisi seperti itu. Padahal, ada sejumlah perempuan memakai niqab yang secara diam-diam mengaku bahwa mereka ateis, tapi tidak bisa melepas niqab karena takut dengan keluarga dan lingkungan sekitar,” tambah Atik.

Saya bertemu dengan Merve untuk kedua kalinya di rumah. Dia menyambut saya tanpa memakai kerudung. Dia memutuskan tidak memakainya saat sedang berada di rumah, walaupun ada laki-laki di sekitarnya.
“Saat pertama kalinya saya bertemu dengan pria tanpa memakai kerudung, saya merasa sangat canggung. Namun, kini semua terasa alamiah. Inilah saya sekarang.”
Semua nama penganut ateisme dan deisme yang diwawancarai dalam artikel ini telah diubah.
Sumber : bbcindonesia.com










