PENTINGNYA PEMAHAMAN ISLAM WASATHIYAH BAGI PENGURUS MASJID

0
588
pentingnya-pemahaman-islam-wasathiyah-bagi-pengurus-masjid

JIC– Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis menilai pentingnya pemahaman Islam Wasathiyah bagi pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM).

Kiai Cholil mengatakan, pemahaman Islam Wasathiyah sebagaimana dalam taujihad Islam Wasathiyah MUI bagi DKM bertujuan untuk menyelenggarakan dakwah yang santun.

Selain itu, terselenggaranya dakwah yang lemah lembut, mencerahkan dan memperkokoh NKRI serta Pancasila.

“Masjid sebagai pusat dakwah akan menentukan paham keagamaan dan paham kebangsaan umat. Karena itu pemahaman Islam Wasathiyah sangat penting,” ujarnya saat memberikan pembekalan bagi DKM Masjid se-Bandung Raya, seperti diberitakan MUIDigital, Jumat (7/10/2022).

Kiai Cholil menjelaskan, Islam Wasathiyah adalah cara memahami Islam dengan jalan tengah yaitu tawassuth (moderat), I’tidal, tawazun, tasamuh, musawa, dan syura.

“Pemahaman wasathiyah ini membuat umat Islam fleksibel dalam bermuamalah, termasuk dalam berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia merilis 10 karakter Islam wasathiyah, prinsip Islam Wasathiyah tersebut diantaranya, pertama, tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama). Kedua, tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).

Ketiga, i’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. Keempat, tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Kelima, musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang. Keenam, prinsip syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.

Ketujuh, ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashla. Kedelapan, Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.

Kesembilan, tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia. Kesepuluh.  Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

Sepuluh prinsip ini pada intinya seorang dai dalam berkhutbah mengedepankan karakter lemah lembut, perkataan baik. Walaupun mau nahi munkar tetap dilakukan  dengan bi ma’ruf. Jika amal ma’ruf dengan ma’ruf maka nahi munkar juga tetap dilakukan dengan ma’ruf.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

20 − eleven =