Penyesalan Darma yang kehilangan anak pertamanya
JIC, JAKARTA— Aroma mi instan dan nasi goreng menyeruak dari arah dapur kecil di bagian bawah rumah panggung berdinding seng yang ditinggali Darma bersama suami dan anak terkecil mereka.
Darma tengah membuatkan bekal untuk suaminya yang akan melaut untuk mencari ikan yang nantinya mereka jual.
Selain sang suami yang menjadi nelayan, Darma juga menjual kardus bekas, kopi, hingga beragam barang pecah belah untuk menjaga dapur mereka agar tetap ngebul.
“Ndak menetap, Pak. Mungkin Rp300.000 per bulan, itu dari pekerjaan (saya),” tuturnya menakar-nakar.

Darma, yang kini sudah berusia 32 tahun, menikah dengan sang suami yang usianya delapan tahun lebih tua, pada 2002 silam di kala umurnya masih 14 tahun. Pernikahan di bawah umur itu adalah buah perjodohan orang tuanya.
“Kita kan sebagai anak takut sama orang tua, jadi tidak pernah menolak, diterima saja,” aku Darma, meski di lubuk hatinya ia tidak mau menikah saat itu.
Ia juga paham bahwa menikah di usianya saat itu bukanlah sesuatu yang tabu, bahkan sudah membudaya. Banyak yang juga mengalami hal serupa.
“Ya mungkin budaya juga bilang kalau sudah dinikahkan, sudah bukan tanggungan orang tua, sudah lepas,” tuturnya merujuk pada motif ekonomi yang kerap melatarbelakangi praktik pernikahan usia anak.
Darma lantas menjalani hari-hari pertama pernikahannya dengan penuh rasa was-was. Selain karena tidak mengenal sosok sang suami sebelumnya, ia juga masih asing dengan peran barunya sebagai seorang istri di usia anak.
“Langsung kaget, karena maksudnya belum ada sifat kedewasaannya,” kenangnya.
Beruntung, akunya, sang suami adalah sosok pendiam dan penyabar. Ia mengaku tidak pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun verbal.

Tapi bencana datang ketika ia mengandung anak pertamanya di usia 16 tahun. Darma yang tidak punya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi kala itu, melahirkan bayinya setelah ia kandung selama lebih dari 10 bulan.
“Karena saya melahirkan di rumah, sampai-sampai pendarahan, saya digotong pakai kasur karena sudah tidak bisa bergerak,” kisahnya. Ia bercerita bahwa ia terus terbaring, sementara warga mengangkutnya menggunakan kapal ke daratan untuk menuju rumah sakit di kabupaten.
Nahas, sang bayi tidak selamat.
“Pas melahirkan, air ketubannya habis, jadi anak saya meninggal. Anak pertama,” tuturnya pilu.
Akibat kejadian itu, Darma lantas melahirkan anak kedua dan ketiganya melalui operasi sesar.

Ada juga masa ketika Darma merasa bahwa beban ekonomi yang dipikulnya kini akibat ia putus sekolah. Selepas SD dulu, ia tak melanjutkan pendidikannya dan langsung mengemban peran sebagai istri dan ibu muda.
“Andaikan saya (lanjut) sekolah, ini mungkin tidak begini pekerjaan saya,” imbuhnya.
“Kalau lihat sepupu-sepupu yang ilmunya tinggi biasa juga timbul penyesalan.”
Perasaan yang sama muncul setiap kali Darma tidak bisa membantu anak-anaknya mengerjakan pekerjaan rumah.
“Terkadang juga anak ada pelajarannya, biasa timbul juga rasa ‘aduh, andaikan mama ini pintar, Nak,” ujarnya, “karena (Mama) tidak ada ilmunya.”
Penolakan Tuti yang tak mau kehilangan masa remaja
“Kalau mau, Ibu saja yang duduk dengan laki-laki itu di pelaminan.” Kalimat itu terlontar dari bibir Tuti (nama disamarkan) kepada sang Ibu.
Ia harus mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk akhirnya menolak lamaran yang dilayangkan seorang pria tak dikenal kepada orang tuanya.
“(Saya) masih ingin menikmati masa remaja, masih ingin sekolah,” ujar Tuti menceritakan kejadian yang dialaminya tahun 2016 itu kepada BBC News Indonesia, Kamis (18/07), di rumah panggung tempat tinggal kedua orang tuanya di Pulau Kulambing, Desa Mattiro Uleng.

Tuti adalah salah satu dari sekian gadis di desanya yang ‘selamat’ dari ikatan perkawinan anak.
Kabar lamaran itu, aku Tuti, datang bak petir di siang bolong. Ibunya, Yati (nama disamarkan), yang memberitahu kabar tersebut kepada anak sulungnya itu. Kala itu, Tuti masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas, baru 17 tahun.
Awalnya, Tuti hanya diam, meski dalam hati ia memberontak. Ia “takut berdosa” kepada orang tuanya.
Ia hanya bisa menangis setiap malam, terlebih kabar lamaran itu tersebar ke seantero kampung dan teman-teman sekolahnya.
“Ada sepupuku bilang ‘terima saja (dia), orangnya baik’. Cuma saya tidak mau,” imbuhnya.
Penolakan itu semakin bulat dalam hatinya, ketika ia diajak mengobrol oleh seorang aktivis anti-pernikahan usia anak dari desa setempat bernama Indotang.
“Indotang juga datang kasih tahu begini, masih umur ABG, rahim juga belum siap, nanti berakibat fatal. Dari situlah aku bersikeras menolaknya,”
Akhirnya, Tuti memutuskan untuk berkata jujur kepada orang tuanya.
“Iya, langsung kasih tahu Mama, saya nggak mau,” bebernya.
Beruntung, sang ibu, Yati, menuruti permintaan anaknya. Saat itu juga, Yati langsung menghubungi pihak pelamar untuk menolak lamaran mereka.
“Tidak jadi, langsung putus hubungan,” terang Yati.

Sikap Yati juga tidak lepas dari peran Indotang yang juga memberi wejangan kepada Yati setelah mendengar kabar lamaran tersebut.
“Ibu Indotang datang memberitahu bahwa umur anak saya belum cukup,” imbuhnya, “Ibu Indotang memberitahu sudah banyak kejadian dan bukan bagus dampaknya kalau anak-anak masih di bawah umur (dinikahkan).”
Yati dan suaminya menurut.
Apa rencana mereka kini?
Sambil belajar merawat suaminya, Ana memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah kejuruan yang tinggal tersisa satu tahun ajaran. Keputusannya itu didukung sang suami dan orang tuanya.
“Saya mau Ana lanjut sekolah untuk bisa mendapatkan ijazah SMA. Biarlah Tio pergi mencari rezeki bersama Bapaknya (Ana),” ujar ibunda Ana, Ita.
Ana, yang bermimpi menjadi dokter, mengaku ingin mendapat ijazah agar bisa segera bekerja selepas sekolah.
“Cari kerja dulu,” ujarnya, “(pekerjaan) kayak di kantor, karena (jurusan saya di SMK) akuntansi.”
Sementara itu, setelah menyelesaikan bangku SMA, Tuti, yang kini berusia 20 tahun, tengah merencanakan pernikahannya dengan sang kekasih.
“Penginnya punya suami yang bertanggung jawab, memenuhi apa kebutuhan keluarga, jadi imam yang baik,” jelasnya.

Sedangkan Darma, yang kini menjadi anggota lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan – Sekolah Perempuan Pulau, hanya berharap anak-anaknya dapat sekolah setinggi mungkin dan tidak mengalami apa yang dijalaninya dulu akibat menikah di bawah umur.
“Cukup kita yang rasakan,” tuturnya, “Yang saya sering bayangkan, saya pengin sekali lihat anak saya jadi sarjana.”
Ia selalu memberi wejangan kepada kedua anaknya agar mereka bisa terus bersekolah dan menjadi lebih baik dari ia dan suaminya. Ia pun bertekad untuk menghentikan praktik pernikahan usia anak di sekitarnya.
“Jangan dinikahkan, berikanlah mereka ijazah, jangan berikan buku nikah,” pungkasnya.