POLEMIK KERUSUHAN MEI 1998: KIVLAN ZEN DAN WIRANTO DIMINTA KELUARKAN KETERANGAN RESMI KE KEJAKSAAN

0
453

Wiranto dilantik menjadi Menkopolhukam oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

JIC, JAKARTA–Kivlan Zen dan Wiranto diminta memberikan keterangan resmi tentang kerusuhan Mei 1998 ke Kejaksaan Agung, daripada saling lempar klaim tentang dalang di balik insiden yang menyebabkan 1.190 orang tewas, menurut Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Mantan anggota TGPF, Sandyawan Sumardi, mengatakan klaim-klaim yang dilemparkan Kivlan dan Wiranto akan memperjelas kejadian yang sesungguhnya, termasuk dugaan keterlibatan intelijen militer dalam kerusuhan tersebut.

“Ini (kerusuhan Mei) gara-gara peran intelijen militer. Jadi secara de facto, ini adalah operasi militer. Maka tidak mungkin yang bertanggung jawab hanya satu orang,” ujar Sandyawan Sumardi kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/02).

“Saling tuduh ini secara sederhananya masyarakat akan menganggap, lah mereka-mereka ini berarti terlibat. Sebetulnya jauh lebih baik ke Kejaksaan daripada sumpah pocong itu kan tidak benar. Sumpah pocong bukan tindakan hukum,” sambungnya.

Dalam simpulan Laporan Akhir TGPF, disebutkan kerusuhan 13-15 Mei 1998 terjadi karena ada “pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional” dan “ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu”.

Disebutkan juga bahwa “peristiwa kerusuhan terjadi secara sistematis, masif dan meluas. Artinya, peristiwa itu memenuhi syarat dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat”.

Menurut Sandyawan, Kivlan yang saat itu menjabat Kepala Staf Kostrad, Prabowo yang merupakan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, dan Wiranto sebagai Panglima ABRI, adalah pihak-pihak yang mengetahui betul kondisi di lapangan sehingga pengakuan mereka penting untuk dibuka ke publik.

kamisanHak atas fotoANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Image captionSejumlah pegiat HAM menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/1/2019). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk segera menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia.

 

“Tidak peduli siapa yang benar di antara mereka, tapi fakta itu yang harus diungkapkan,” jelasnya.

“Jangan terlalu takutlah bahwa ini akan diproses hukum. Publik itu berhak untuk paham apa yang terjadi pada bangsanya di masa lalu, jangan sampai korban itu distigma sebagai pihak yang bersalah.”

Jaksa tak yakin bawa berkas Mei 98 ke pengadilan

Polemik tentang dalang kerusuhan Mei 1998, bermula dari pernyatan Kivlan yang menyebut Wiranto memainkan peran ganda dan isu propagandis saat masih menjabat sebagai Panglima ABRI. Tujuannya untuk menumbangkan Presiden Soeharto.

“Ya sebagai Panglima ABRI waktu itu, Pak Wiranto atas kejadian itu kenapa dia meninggalakan Jakarta dalam keadaan kacau, dan kenapa kita yang untuk amankan Jakarta tidak boleh kerahkan pasukan, itu. Jadi kita curiga loh keadaan kacau masaknggak boleh mengerahkan pasukan,” kata Kivlan.

Belakangan Wiranto menantang Kivlan dan Prabowo melakukan sumpah pocong dan menyebut tudingan itu tak sesuai fakta.

“Kasihan Saudara Kivlan Zen yang selalu menyampaikan pernyataan ngawur. Tidak ada fakta soal itu. Dan tidak lagi melihat kenyataan yang beredar di masyarakat,” kata Wiranto.

Peristiwa kerusuhan Mei 98 hingga sejauh ini belum diajukan ke pengadilan.

Beberapa kali Kejaksaan Agung mengembalikan hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan kurang bukti.

Juru bicara Kejaksaan Agung, Mukri, menyebut pada akhir Desember lalu pihaknya memulangkan berkas karena sejumlah alat bukti belum lengkap.

komnas hamHak atas fotoANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A
Image captionKomnas HAM mendorong Jaksa Agung untuk menyelesaikan sembilan berkas pelanggaran HAM berat setelah sebelumnya dikembalikan ke Komnas HAM sebagai komitmen pemerintah menyelesaikan kasus HAM masa lalu.

 

“Misalkan beberapa saksi belum diperiksa, terus untuk calon tersangka belum disinggung,” ujar Mukri kepada BBC News Indonesia.

“Intinya kalau kita paksakan ke tingkat penyidikan dan pengadilan, maka bisa bebas pelakunya,” sambungnya.

Dengan segala kekurangan itu pula jaksa, kata Mukri, tak yakin bakal menang di pengadilan. Itu mengapa, pihaknya memaksa Komnas HAM agar menguatkan bukti-bukti kasus itu termasuk jika harus memeriksa orang yang dianggap bertanggung jawab.

“Kami ini (bekerja) dibatasi waktu, kalau nggak cukup bisa batal demi hukum perkaranya.”

“Jadi ini bukan berani atau tidak (memanggil pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab), ini bicara prosedur. Domainnya masih di penyelidikan artinya Komnas HAM.”

 

 

sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

ten − 2 =