
YERUSALEM — Ribuan aktivis dari 44 negara berkumpul di Tunis untuk mempersiapkan misi pelayaran internasional yang dinamakan Armada Global Sumoud, sebagai bentuk perlawanan terhadap blokade Israel di Gaza, Palestina.
Dalam konferensi pers yang digelar di ibu kota Tunisia, juru bicara Haifa Al-Mansouri menyampaikan bahwa empat inisiatif besar—Maghreb Steadfastness Flotilla, Global Movement Towards Gaza, East Asian Initiative, dan Freedom Flotilla—telah bersatu dalam upaya ini.
Al-Mansouri menjelaskan bahwa misi armada ini bertujuan untuk menembus blokade laut Israel, membuka jalur kemanusiaan maritim, dan mengakhiri tindakan yang mereka sebut sebagai genosida terhadap warga Palestina.
Puluhan kapal dari berbagai ukuran dijadwalkan akan berangkat pada akhir musim panas dari pelabuhan-pelabuhan di berbagai negara, menjadikan ini armada sipil global terkoordinasi pertama menuju Gaza.
Peluncuran perdana direncanakan dari pelabuhan di Spanyol pada 31 Agustus, diikuti oleh pemberangkatan kedua dari pelabuhan Tunisia pada 4 September 2025, sebagaimana dilaporkan oleh Palestine Chronicle, Selasa (5/8).
Anggota armada lainnya, Saif Abu Kishk, mengungkapkan bahwa lebih dari 6.000 orang telah mendaftar melalui situs resmi. Para peserta akan menjalani pelatihan di pelabuhan keberangkatan, yang juga akan menjadi lokasi berbagai kegiatan dan perkemahan secara serentak.
Ia menegaskan bahwa kehadiran warga sipil dalam jumlah besar di laut bertujuan untuk meningkatkan tekanan internasional terhadap pemerintah agar mengambil langkah nyata menghentikan blokade.
Sebelumnya, upaya serupa dilakukan oleh kapal Handala, yang sempat mencapai 70 mil dari pesisir Gaza sebelum dicegat oleh militer Israel dan dialihkan ke pelabuhan Ashdod. Ini merupakan salah satu jarak terjauh yang berhasil dicapai, dibandingkan kapal Mavi Marmara pada 2010 yang dicegat di jarak 72 mil, Madeleine di 110 mil, dan Al-Dameer sejauh 1.050 mil.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel memperketat blokade terhadap Gaza. Bahkan pada 2 Maret, seluruh jalur bantuan kemanusiaan dan medis ditutup total, memicu bencana kelaparan ekstrem. Akibatnya, setidaknya 159 warga Palestina meninggal dunia, termasuk 90 anak-anak.
Sumber: Republika.co.id