SEKULARISME DUNIA PENDIDIKAN ANCAMAN KEMASLAHATAN BANGSA (1)

0
261

Awak Samo Awak (ASA) dan Uhamka mendiskusikan tentang bahaya sekularisme pendidikan dengan menampilkan para pakar pendidikan dari ranah Minang, yakni Desvian (dekan FKIP Uhamka), Zamah Sari (Purek 2 Uhamka), Zulfikri Anas (direktur Indonesia Emas Institute), Afrizal Sinaro (ketua Yayasan Perguruan Al-Iman), dan Chandrawati (direktur Sekolah Uhamka) (dari kiri ke kanan), Sabtu (12/6)..   Foto: Dok Uhamka

Pendidikan sekuler berpeluang menghasilkan orang-orang fundamentalis (radikal).

JIC, JAKARTA — Pemikiran yang berseberangan jika tidak didialogkan, kedua belah pihak akan selalu merasa benar dan menganggap pihak yang berseberangan adalah lawan. Padahal, sesungguhnya tidak begitu, dapat dikatakan itu adalah resonansi yang muncul akibat kedua pihak tidak saling mengomunikasikan secara utuh perspektif masing-masing. Akibatnya, semua terperangkap pada kekhawatiran atau ketakutan bahwa pihak-pihak yang berseberangan akan menjadi penghalang terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Ini perlu di-clear-kan.

Demikian, antara lain, kesimpulan diskusi tentang sekularisme dunia pendidikan yang digelar di gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka  (Uhamka) Jakarta Timur, Sabtu (12/6). Diskusi itu didakan oleh ASA (Awak Samo Awak) dan Uhamka.

Hadir dalam diskusi, Wakil Rektor II, Dr Zamah Sari  MPd; Dekan FKIP, Dr  Desvian Bandarsyah MPd; dan Direktur Utama Sekolah-Sekolah Uhamka, Dr Chandrawaty  MPd. Selain itu, Zulfikri Anas dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendikbud, yang juga direktur Indonesia Emas Institute; serta  Afrizal Sinaro, anggota Dewan Pertimbangan PP Ikapi dan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI).

Zamah Sari menegaskan bahwa, “Pada satu sisi, kita ingin mengimplementasikan kekuatan spiritual keagamaan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan, namun pada sisi lain kita belum memiliki bukti nyata bahwa pendidikan yang diselengarakan oleh lembaga–lembaga pendidikan yang berbasiskan agama menghasilkan orang-orang yang konsisten menerapkan perilaku religiusnya dalam produk atau hasil pekerjaannya.”

Ia menyebutkan contoh, seorang arsitek jebolan perguruan tinggi keagamaan sangat fasih dengan semua dalil dan menjadi arsitek yang andal dan juga pribadi yang saleh. Namun, ketika dia ikut membangun mal, desain dan peralatan toilet yang digunakan sama sekali tidak dirancang sesuai prinsip thaharah berdasar syariat agama. “Contoh kecil mungkin dikatakan pikiran nyeleneh atau ngawur, tapi contoh ini cukup mewakili perilaku-perilaku lainnya. Hampir di semua sisi kehidupan begitu, dunia pendidikan belum seutuhnya berkontribusi nyata dalam kehidupan,” ujar Zamah Sari dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 + 8 =