SEKULARISME DUNIA PENDIDIKAN ANCAMAN KEMASLAHATAN BANGSA (2)

0
213

Foto: Dok Uhamka

Pendidikan sekuler berpeluang menghasilkan orang-orang fundamentalis (radikal).

JIC, JAKARTA,–

Zamah menambahkan, untuk itu, “Tantangan kita adalah menunjukkan secara nyata kepada semua pihak bahwa sekolah-sekolah yang kita kelola dan kita bina mampu menghasilkan anak-anak yang cerdas, terampil, profesional, dan berakhlak mulia sebagaimana gambaran profil manusia terdidik yang sesungguhnya, yang sering disebut insan kamil.

 

Di sinilah kita perlu merancang kurikulum dan pembelajaran yang benar-benar mengondisikan setiap anak didik menyadari bahwa sebagai manusia, hamba Allah, kita adalah makhluk yang berpikir, bernalar, kritis, sekaligus pribadi beriman yang kehadirannya membawa keselamatan bagi dirinya, keluarganya, orang-orang di sekitarnya, bangsa, negara, dan agamanya. Ini terlihat ambisius, namun kita harus punya cita-cita luhur yang didukung oleh target yang jelas dan program nyata yang dapat diimplementasikan melalui setiap aktivitas pembelajaran.”

“Mengutuhkan pendidikan dengan mempertemukan ilmu pengetahuan dengan iman tidak mudah, namun perlu kita ingat pendidikan sekuler berpeluang menghasilkan orang-orang fundamentalis (radikal) pada kedua pihak, baik pihak kiri maupun kanan, dan keduanya berpontensi menghambat kemajuan suatu bangsa,” ujarnya menegaskan.

Sejalan dengan itu, Desvian Bandarsyah menegaskan bahwa mengutuhkan pendidikan dengan menyatukan ilmu pengetahuan dengan agama jangan sampai berlangsung secara instan. Semua harus berproses secara natural sebagaimana manusia yang berpikir dan bernalar.

“Kita tidak bisa menggunakan dalil-dalil agama secara langsung begitu saja, lalu semua peristiwa di alam dan kehidupan diarahkan langsung pada sunnatulah. Cara-cara instan seperti itu justru membuat orang tidak berpikir rasional, bahkan mungkin dia seperti membabi buta dan menggunakan dalil-dalil untuk memaksakan kehendaknya sendiri. Hal ini tidak membuat anak menjadi cerdas,” ungkapnya.

Menurutnya, kehidupan ini dipenuhi paradoks-paradoks yang “yang menuntut kita harus benar-benar sadar dalam melakukan sesuatu, apalagi ini menyangkut masa depan anak-anak, masa depan bangsa, dan kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Di satu sisi, kita bisa mengeklaim diri sebagai lembaga pendidikan yang berbasiskan agama, namun di sisi lain kita seperti bermusuhan dengan sesama atas dasar perbedaan pandangan. Sementara itu, kita sendiri belum mampu membuktikan secara nyata bahwa kita memang benar-benar telah menerapkan sesuai dengan kaidah pendidikan yang sesungguhnya. Inilah tantangan kita dan kita harus siap menjawabnya.”

Sebagai pengajar senior dalam bidang pendidikan anak usia dini, Chandrawaty menegaskan bahwa dunia pendidikan adalah dunia anak, milik mereka sepenuhnya. Untuk itu, setiap program pembelajaran diterapkan, seyogiyanya benar-benar mengakomodasi kebutuhan mereka sebagai anak-anak. Cara-cara instan mendidik mereka justru akan merusak mereka.

“Salah satu hal terpenting adalah bagaimana cara kita membuat mereka belajar dan melakukan kegiatan melalui keceriaan, keindahan, dan harmoni,” kata Chandrawaty.

Untuk itu, pendidikan ini tidak dapat dilepaskan dari etika dan estetika. Etika dan estetika ini harus menjadi bahagian tak terpisahkan, khususnya estetika (seni), bukan sekadar mata pelajaran, melainkan menyangkut kehalusan budi dan harmoni. “Hal ini harus menjadi perhatian bagi pendidikan pada masa-masa awal anak dididik, dan pendidikan usia dini itu berlangsung sampai anak usia delapan  tahun.

 

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × 4 =