Cover SM Tahun 1915 (Dok SM)
Landasan Historis
JIC,— Jika belakangan istilah rating, viewers dan sejenisnya menjadi kosa kata baru untuk menunjukkan keberhasilan sebuah media berbasis online dan elektronik. Maka tidaklah demikian bagi Suara Muhammadiyah. Bagi media persyarikatan ini, indikator keberhasilan bukan saja semata-mata media ini dibaca atau dilihat, melainkan mampu hadir sebagai pencerahan yang meneguhkan nilai-nilai keberislaman dan kebangsaan kita.
Maka sejak mula terbitnya, Suara Muhammadiyah, selain konsisten menampilkan panduan, pedoman dan guideline dalam keberagamaan yang berkarakter washatiyah, sekaligus menghadirkan konten-konten yang menginspirasi bagi kemajuan masyarakat dan bangsa.
Munculnya kosa kata Indonesia pada majalah SM edisi tahun 1924, menjadi salah bukti media ini hadir sebagai sebuah media inspiratif. Walau kita mengenal istilah Indonesia itu sendiri pada saat Sumpah Pemuda 1928.
Bahkan pada tahun-tahun awal, media ini juga menjadi inspirasi dan supporting bagi lahir dan tumbuh kembangnya berbagai gerakan literasi. Seperti dukungan Suara Muhammadiyah kepada Media Oetusuan Indonesia yang dinakhodai oleh Sukiman & Muhammad Hatta, yang terbit pada tahun 1934, kemudian dukungan majalah SM atas lahirnya media perempuan pada tahun 1926, yang kemudian dikenal dengan nama ” Suara Aisyiyah”.
Tidak hanya itu, pada paroh abad kedua, majalah SM juga berperan dalam melahirkan banyak cendikiawan dan tokoh intelektual muslim, sebut saja misalnya AR Fakhruddin, Diponegoro, Amien Rais, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Haedar Nashir hingga banyak tokoh intelektual lainnya.
Begitu pula dalam aspek konten, tampak majalah SM memiliki karakter yang kuat sebagai media pencerahan. Kita bisa melihat pada tahun-tahun awal ( 1915), majalah SM sudah memuat perihal pengetahuan tentang bulan, bagaimana menentukan penanggalan, tentang ilmu kedokteran, serta sistem dan model pengajaran modern dan sebagainya, yang kemudian menginspirasi bagi kehidupan kala itu.
Upaya membangun pencerahan untuk memajukan kehidupan kebangsaan dan beragamaan, majalah SM pun (tahun 1957) tidak sungkan-sungkan menampilkan dialog dengan ilmuan barat, Jepang, kalangan nasrani, dan non muslim lainnya, dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki.
Jejak digital keberadaan majalah SM ini, menjadi bukti bahwa sejak awal kelahirannya, media ini hadir sebagai media pencerahan dan media yang mampu menginspirasi banyak kebaikan dan perubahan. Oleh karenanya, karakter dan watak dasar ini, menjadi landasan yang kuat, bahwa majalah SM akan menjadi tenda besar bagi kemajuan Islam dan keindonesiaan, dengan watak moderasi dan wastahiyahnya.
Deni Al Asyari, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/ Suara Muhammadiyah
Sumber : suaramuhammadiyah.id