TERANCAM BENCANA YANG ‘TAK PERNAH TERBAYANGKAN’ (2)

0
291

Sebagian warga Jawa Timur bergantung pada bantuan air bersih pemerintah saat kemarau melanda Indonesia pertengahan tahun 2019.

Apa penyebabnya?

JIC, JAKARTA— Heru Santoso, peneliti senior di Pusat Geoteknologi LIPI, menyebut curah hujan di Jawa cenderung terus berkurang sekitar 3%. Menurutnya penurunan itu tidak lebih berdampak pada ketersediaan air ketimbang tren peningkatan temperatur udara.

“Karena kenaikan suhu, sampai mendekati 2 derajat celcius pada tahun 2070, evaporasi atau penguapan air menjadi tinggi. Itu menyebabkan defisit air.”

“Perubahan fungsi lahan juga berpengaruh tapi jauh lebih besar pengaruh perubahan iklim. Kalau tidak ada perubahan iklim, jumlah air tetap, tinggal diatur misalnya berapa yang dialirkan untuk penduduk,” tuturnya.

Di sisi lain, Heru memprediksi alih fungsi lahan dari area resapan menjadi pemukiman dan daerah industri juga mengancam sumber air di Jawa.

“Jawa masih menjadi daerah industri andalan, bahkan ada rencana pembangunan area pantura dan proyek infrastruktur yang masif, ini tantangan berat.”

“Upaya menjaga lahan serba salah karena kebutuhan lahan yang tinggi,” ujarnya.

LingkunganHak atas fotoANTARA/MUHAMMAD IQBAL
Image captionWarga beraktivitas di tengah sungai Cisadane yang mulai mengering di kawasan Pintu Air 10, Tangerang, Banten, Rabu (03/07).

Dalam penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) misalnya, kawasan tambang di Jawa Timur selama 2012-2016 meningkat dari 80 ribu menjadi 151 ribu hektare. Mayoritas lahan tambang baru itu disinyalir berada di kawasan hutan.

Direktur Walhi Jawa Timur, Rere Christanto, mengklaim alih fungsi lahan di Kota Batu selama 2001-2015 juga membabat setengah sumber mata air wilayah tersebut. Tahun 2015, kata Rere, tersisa 51 mata air di Batu.

“Saat tidak ada hujan lebih 100 hari di Jawa Timur, neraca air minus. Tapi itu diperburuk kebijakan yang justru mengurangi kawasan resapan air.”

“Ada penjelasan ilmiah yang bisa menghubungkan bahwa berkurangnya neraca air di Jawa terjadi seiring berkurangnya kawasan ekologis resapan air,” kata Rere.

Apa siasat pemerintah?

Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyatakan potensi krisis air terjadi akibat peran masyarakat dalam silang sengkarut keterbatasan sumber air dan distribusi air bersih yang tidak merata.

Menurut Bambang, karena tidak terlayani air leding PDAM, sebagian penduduk Jawa mengambil air tanah lewat sumur bor.

“Selain merusak air tanah, itu juga mengurangi ketersediaan air karena pengambilan yang tidak terkendali,” ujarnya saat ditemui wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo, di London, Juni lalu.

LingkunganHak atas fotoANTARA/WAHYU PUTRO A
Image captionSalah satu dasar usulan Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, memindahkan ibu kota ke Kalimantan adalah ketersediaan air yang menipis di Jawa.

Bambang berkata, untuk mencegah pengambilan air tanah, pemerintah tengah membangun sistem penyediaan air minum (SPAM) baru di Surabaya dan Semarang. Targetnya, tahun 2024 ada 10 juta rumah tangga baru yang tersambung air leding PDAM.

Tak hanya itu, meski tidak mudah, Bambang menyebut beban Jawa perlu dikurangi agar pulau ini tidak benar-benar kehabisan air bersih tahun 2040.

Potensi krisis air di Jawa ini pula yang mendorong Bambang, melalui Bappenas, mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke suatu kota di Kalimantan Timur.

“Karena Jawa yang mengalami krisis air, beban Jawa harus dikurangi walau kita tidak bisa menahan laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi,” ucapnya.

Sementara itu, proyek pembangunan bendungan merupakan solusi yang diajukan Hari Suprayogi, Dirjen Sumber Daya Air di Kementerian PUPR. Penampungan air hujan, kata dia, merupakan kunci ketahanan air.

“Kalau bangun banyak penampungan, orang di Jawa pasti masih bisa minum di musim kemarau. Tapi ada balapan, berapa pertumbuhan penduduk, berapa untuk pertanian.”

“Tampungan air harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan. Ketahanan air tercapai kalau ada pengawetan air, jawabanya penampungan,” kata Hari.

Lingkungan

Menurut laporan Bank Dunia tahun 2005 yang masih terus dikutip pemerintah, tampungan air per kapita di Indonesia sebesar 52 meter kubik setiap tahun.

Sebagai komparasi, salah satu negara dengan tampungan air terendah adalah Ethiopia (38 meter kubik per kapita setiap tahun). Adapun, Thailand memiliki 1.277 meter kubik sementara Amerika Utara mencapai 5.961 meter kubik.

Pemerintah menargetkan 65 bendungan baru di seluruh Indonesia selama 2014-2024. Dari total itu, 12 bendungan anyar dibangun di Jawa.

“Kami sudah punya visi 2030. Pada tahun itu, diharapkan tercapai 120 meter kubik per kapita per tahun,” ujar Hari.

LingkunganHak atas fotoANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA
Image captionKementerian PUPR menargetkan pembangunan Bendungan di Ciawi dan Sukamahi, Jawa Barat selesai tahun 2020.

Tapi apakah upaya itu cukup?

Peneliti senior LIPI, Rachmat Fajar Lubis, menyatakan ancaman krisis air tak akan berlalu dengan pembangunan penampung air semata. Yang lebih vital, kata dia, adalah teknologi massal penjernih air.

“Kalau prediksi perubahan iklim benar, bendungan akan tetap kering. Jadi perlu pemanfaatan air marjinal, yaitu air di sekitar manusia yang tidak pernah dimanfaatkan seperti air laut, air sungai, air gambut atau air sisa pertambangan.”

“Jakarta punya 13 sungai yang mengalir 24 jam. Ciliwung, Grogol, Krukut, semua mengalir tapi tidak digunakan padahal itu gratis,” kata Rachmat.

Meski begitu, Rachmat menilai kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyokong kajian pemurnian air bersih. Menurutnya, pemerintah menginginkan teknologi yang siap pakai, tanpa mempertimbangkan waktu dan modal riset.

“Kalau kita punya teknologi murah untuk mengolah air laut, tidak usah khawatir krisis. Kita kan negara bahari, tanpa hujan pun Jawa akan bisa bertahan,” ujarnya.

Lingkungan

Bagaimanapun, kata Heru Santoso, pakar LIPI lainnya, penyadaran bersama tentang ancaman krisis air perlu segera digaungkan pemerintah kepada masyarakat.

Edukasi itu disebutnya dapat mendorong perubahan kultur, terutama soal mengapa kita perlu menghemat air.

Heru berkata, krisis air bukan cuma tentang ketersediaan pangan dan air minum, tapi juga listrik. Ia berkata, suplai energi untuk 150 juta penduduk Jawa terancam terganggu karena 31 pembangkit listrik di pulau itu digerakkan air.

“Saat ini kalau kita bicara bencana, lebih ke tektonik atau vulkanik. Kekeringan tercatat, tapi belum mendapat perhatian besar karena dianggap masih bisa tertangani.”

“Beberapa pemda sekarang menyalurkan bantuan air bersih. Tapi ke depan, dengan ancaman defisit air yang jauh lebih besar, saya ragu cara ini bisa dilakukan lagi,” tuturnya.

 

 

sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eight − one =