HIJRAH DAN KEJAYAAN PERADABAN ISLAM

0
707

istanbul-_130624135549-768

JIC, JAKARTA  Hijrah menduduki topik penting dalam sejarah kenabian. Dikisahkan Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad, semasa Rasulullah SAW, kaum Muslim pertama kali berhijrah ke Habasyah (Abissinia, Etiopia).

Peristiwa itu terjadi pada tahun kelima kenabian atau 615 M. Para sahabat yang baru masuk Islam mendapatkan permusuhan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy.

Tatkala siksaan semakin berat, Rasulullah memerintahkan para sahabat mencari perlindungan ke Habasyah yang diperintah oleh Raja Najasyi. Habasyah dipilih lantaran rajanya dikenal adil dan memiliki hubungan baik dengan kaum Muslim. Umat Islam hijrah ke Habasyah sebanyak dua kali. Hijrah pertama sebanyak 11 laki-laki dan lima wanita, sedangkan hijrah gelombang kedua sekitar 83 laki-laki dan 18 wanita.

Tahun 622 M, kaum Muslim kembali diperintahkan berhijrah. Kali ini, ke Yastrib atau Madinah. Ada beberapa faktor yang memicu peristiwa hijrah ke Madinah. Pertama, siksaan kaum kafir terhadap Muslim yang tidak kunjung surut. Upaya pembunuhan terhadap Nabi Muhammad dilakukan berkali-kali. Kedua, dakwah berkembang pesat di Madinah.

Kaum Muslim di kota itu sudah cukup banyak. Mereka siap menyambut kedatangan Rasulullah. Peristiwa hijrah ini diikuti oleh hampir semua kaum Muslim yang ada di Makkah. Ada yang terang-terangan, ada yang sembunyi-sembunyi menempuh perjalanan hijrah. Dalam kondisi tertentu, hijrah bisa jadi kewajiban, misalnya, saat kondisi keimanan kaum Muslim di suatu tempat terancam.

John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern menuliskan pemaknaan hijrah dilaksanakan kaum Muslim guna merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial. Hijrah juga perwujudan keimanan, yang menunjukkan kemauan menanggung segala penderitaan akibat gerakan menuju tempat lain demi melindungi jiwa dan keimanan.

persia

Aspek religi menjadi dimensi kuat dalam peristiwa hijrah Nabi ke Madinah. Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab menyebutkan, Rasulullah bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.

Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” Artinya, Rasulullah benar-benar ingin memurnikan niat sahabat dalam berhijrah.

Hijrahnya Nabi ke Madinah menandai fase baru dalam perkembangan dakwah Islam. Di Madinah, Nabi membentuk sistem pemerintahan. Rasulullah juga mulai mengirimkan pasukan ke beberapa wilayah di Jazirah Arab. Ekspansi itu semakin gencar dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, khususnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar melakukan penaklukan ke Irak, Persia, dan sebagian wilayah Syam. Umar bin Khattab memperluas lagi ke Suriah, Palestina, Persia, dan Mesir.

Fenomena migrasi dalam skala besar hampir tidak ditemukan pada masa Khulafaur Rasyidin, begitu juga pada masa dinasti setelahnya. Kendati demikian, setiap peristiwa ekspansi pada dasarnya membawa dimensi migrasi. Kaum Muslim melakukan perluasan wilayah kekuasaan.

pelaksanaan-ekonomi-di-zaman-rasulullah-saw-572e3469d77e616c0beab15d

Sebagian pasukan kemudian menetap untuk menjalankan pemerintahan Islam di wilayah yang baru saja ditaklukkan. Amr bin al-Ash, misalnya. Ia memimpin penaklukan di Mesir, ditunjuk menjadi gubernur, dan menetap di sana hingga akhir hayat. Hal serupa juga terjadi pada masa-masa dinasti.

Seiring perluasan wilayah kekuasaan Islam, pusat pemerintahan tidak lagi selalu berada di Makkah dan Madinah. Bani Umayyah menetapkan pusat pemerintahan di Damaskus, Suriah. Kekhalifahan Bani Abbasiyah memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad, Irak. Ekspansi telah mencapai wilayah Andalusia dan Asia Tengah.

Tidak ada migrasi besar, tapi persebaran kaum Muslim semakin luas. Ketika Turki Utsmani menduduki beberapa wilayah Eropa, misalnya, jalur baru migrasi Muslim terbuka. Karena itu, tidak heran bila populasi Muslim ditemukan dalam jumlah besar di negara-negara Eropa Timur dan Eropa Barat, seperti Bosnia, Albania, Kosovo, dan Bulgaria. Kecilnya eskalasi migrasi pada masa kekhalifahan ini lantaran kondisi kaum Muslim cenderung stabil, tidak mendapat ancaman dari kelompok dominan lain.

Philips K Hitti dalam History of the Arabs menjelaskan, ada kalanya migrasi juga dilakukan untuk mempersiapkan suatu kota menjadi pusat pemerintahan. Pada 1453, Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel dari penguasa Bizantium. Pembebasan kota itu telah diprediksi, bahkan dirintis sejak zaman Rasulullah. Sultan al-Fatih kemudian memindahkan pusat pemerintahan Ottoman ke Konstantinopel, sekaligus mengganti namanya menjadi Istanbul.

Pasca penaklukan itu, Istanbul mulai berbenah. Masjid-masjid bermunculan, dengan tetap mempertahankan corak arsitektur khas Bizantium. Madrasah, rumah sakit, dan fasilitas sosial dibangun. Guna menambah jumlah penduduk Muslim, umat Islam yang berada di Anatolia dan Rumelia dianjurkan bermigrasi ke Istanbul. Pada akhir 1457, penduduk di bekas pusat pemerintahan Ottoman, Edirne, menempuh migrasi besar-besaran ke Istanbul.

Sumber ; Sumber Data Republika

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × two =