JIC, JAKARTA — Benua Hitam, Afrika, memiliki banyak tempat yang lekat dengan sejarah peradaban Islam. Barawa salah satunya. Barawa adalah kota kuno yang membentang di sebelah selatan pesisir Somalia. Berdasarkan cerita rakyat yang menyebar dari mulut ke mulut, awal mula kota ini berasal dari rumah-rumah yang dibangun Aw Ali. Pria ini menetap di hutan yang terletak di antara bukit pasir dan pasir putih.
Begitu besarnya kecintaan Aw Ali terhadap hawa laut, ia pun meminta bantuan kepada orang-orang dari pedalaman untuk membuka hutan dan membangun beberapa rumah untuk dia dan keluarganya. Konon, rumah-rumah Aw Ali itu kini sudah terkubur dan berganti menjadi sebuah kota bernama Barawa Ban Aw Ali yang artinya Barawa, ruang terbuka Aw Ali.
Masyarakat Barawa menggunakan bahasa Chimbalazi yang dicampur dengan kosakata Tunni, Af-Maay, dan Af-Mahasa untuk perca kap an sehari-hari. Sejarawan lokal meng hu bung kan asal-muasal masyarakat Barawa de ngan bangsa Arab, Mesir, India, Persia, bahkan Jawa. Namun, secara historis, masyarakat Ba rawa ber asal dari etnis Wardaay (Bantu), Tunni, Wajiddu (Jiddu), Ajuuran, dan Wambalazi (Galla).
Semua etnis tersebut saling bertarung selama berabad-abad. Mulanya, etnis Tunni dan Jiddu membuat perjanjian tentang pem bagian wilayah di Barawa. Kemudian, etnis Tunni menempati wilayah tepi barat Shabelle, sedangkan etnis Juddi menetap di tepi timur. Kedua etnis ini sepakat untuk mempertahankan kota mereka dari pengaruh orang asing.
Pada abad ke-10, orang asing pertama yang diterima oleh kedua etnis ini adalah kelompok pendatang Muslim, yakni Hatimi dari Yaman dan Amawi dari Sham (Suriah). Mereka datang ke Barawa untuk menyebarluaskan agama Islam sekaligus berdagang. Setelah kedatangan Hatimi dan Amawi, masyarakat kota ini men jadi makmur. Barawa pun menjadi salah satu pusat perkembangan agama Islam. Ulama Bara wa mengundang banyak murid dari ber bagai daerah untuk mempelajari Islam.
Tak heran, seorang cendekiawan Muslim, al-Idrisi, dalam salah satu tulisannya menyebut Barawa sebagai “Pulau Islam di Pesisir Soma lia.” Al-Idrisi antara lain bercerita tentang ran cangan rumah penduduk Barawa yang terbuat dari karang. Diperkirakan, rancangan rumah tersebut dipengaruhi oleh gaya Arab dan Persia.
Cendekiawan Muslim, al-Idrisi, mencatat, perdagangan di Barawa sangat ramai dan penuh dengan berbagai komoditas, baik lokal maupun mancanegara. Barawa juga terkenal dengan kerajinan tradisionalnya, seperti kain tenun aliindi atau kikoy, topi, peci barawa, sandal, perisai, ikat pinggang, furnitur, dan ragam peralatan dapur yang ter buat dari tanah liat.
Barawa juga tersohor dengan kerajinan ukir-ukirannya yang dibuat menjadi beragam produk, mulai dari tempat tidur pengantin sampai tatakan Alquran (rekal). Kota ini juga dikenal dengan kerajinan emas dan peraknya yang memukau.
Selain kerajinan, Barawa juga dikenal dengan gaya arsitektur rumah warganya yang khas. Setiap rumah dilengkapi dengan pekarangan, jalan yang luas, serta jendela lebar. Para wanita dan orang tua tidak perlu ke luar rumah apabila hen dak berkun jung ke rumah lainnya. Sebab, Barawa memiliki banyak rumah bertingkat dua lantai yang saling ter hubung dengan jembatan.
Kota ini dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing bagiannya memiliki sebuah masjid utama. Untuk membangun rumah, masjid, atau bangunan lainnya, masyarakat memanfaatkan karang yang tersedia banyak di pantai untuk kemudian dijadikan semen. Karang-karang tersebut diangkut dengan gerobak unta lalu dibakar hingga menjadi semen. Cara ini dinilai lebih ekonomis daripada harus mengimpor.
Pada 1506, Barawa jatuh ke tangan bangsa Portugis. Barawa pun menjadi pelabuhan utama Portugis.
Namun, pada 1758 Barawa berhasil dibebaskan dari pengaruh Portugis, kemudian berada di bawah kekuasaan Kesultanan Zanzibar. Pada 1889, Sultan Zanzibar dipaksa menyetujui aneksasi Pelabuhan Banadir oleh rezim kolonial Italia dan Barawa pun jatuh ke tangan Italia.
Menolak dijajah Italia, ulama setempat, Syekh Uways al-Baarawi, mengumpulkan kaum pria dan menyemangati mereka untuk mengo bar kan Pemberontakan Banadir. Namun, aksi mereka gagal. Mereka dipukul mundur oleh Italia.
Syekh Uways kemudian hijrah ke Biyoley dan mengonsolidasikan kembali pasukannya. Belum sempat memetik kemenangan, Shekh Uways terbunuh pada 1909. Khalif Shekh Faraj, pengganti Syekh Uways, juga tewas terbunuh pada 1925.
Kematian Syekh Uways tidak menghentikan perjuangan masyarakat Barawa dalam meraih kemerdekaan. Pasukan Shekh Uways yang menamai diri mereka sebagai martir Shekh Uways muncul dari seluruh penjuru Somalia Selatan dan Afrika Timur.
Mereka membentuk organisasi politik yang menjadi cikal bakal munculnya banyak tokoh politik. Berawal dari organisasi inilah kemudian terbentuk partai-partai politik di era Somalia modern. Contohnya, cucu Shekh Uwais, Abdul kadir Sakhawuddin mendirikan Organisasi Pemuda Somalia (SYC) pada 1943.
Selain Syekh Uwais, Barawa juga memiliki ulama besar yang membanggakan di bidang hukum Islam, tafsir, dan sastra sufi. Di antara nya, Shekh Nureini Sabiri, Shekh Qassim al-Ba raawi, Shekh Ma’llim Nuri, dan penyair perem puan Dada Masiti.
Kejayaan Barawa mulai luntur pada masa kolonial, utamanya ketika dibangun pelabuhan yang lebih canggih di kota lain, yakni Marka dan Mogadishu. Celakanya, pemerintahan Ba rawa pascakemerdekaan kurang memperhati kan pembangunan dan kemajuan kotanya.
Pada 1974, Barawa semakin terpuruk dengan adanya program permukiman pengungsi di Sablaale. Sebanyak 5.000 dari 30 ribu pengungsi ditempatkan di Barawa. Di Barawa, orang-orang yang mengungsi karena kampung halamannya dilanda kekeringan itu diajari tentang pertanian dan perikanan. Sayangnya, mereka gagal mempraktikkan ilmu itu. Para pendatang baru ini membuat Barawa menjadi kota dengan pola kehidupan nomaden. Akibat nya, banyak masyarakat asli Barawa yang ang kat kaki dari kota ini. Akibatnya, Barawa tum buh menjadi kota yang tak berkarakter dan jauh dari kemakmuran.
Ketika perang saudara berkecamuk, Barawa mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Sebagian besar isi kota ini dijarah dan hancur oleh serangan perampok. Bahkan, Barawa disebut-sebut sebagai kota hantu. Masyara kat asli Barawa yang berhasil lolos dari perang menyelamatkan diri ke kamp-kamp pengungsi dan sebagian lainnya pergi ke negara-negaranegara tetangga.















