JIC, JAKARTA — Ekonomi zakat membuat harta terdistribusi dan tidak menumpuk pada sebagian orang. Meski sering dinilai bersifat dana sosial keagamaan, distribusi zakat yang baik, bisa punya dampak pada makro ekonomi.
Pakar ekonomi syariah Syafi’i Antonio menjelaskan, ekonomi zakat adalah penyeimbang dari yang punya ke yang tidak punya. Islam itu indah. Sekaya apapun seorang Muslim, saat meninggal dunia hartanya harus dibagi baik ke sanak keluarga melalui waris, ke masyarakat melalui wasiat, ke mustahik via zakat, dan masyarakat sekitar melalui infak, sedaqah, dan wakaf.
Distribusi kekayaan tersebut mengindikasikan harta Muslim itu harus menyebar. “Kebutuhan makan dan pakaian kita kan terbatas. Tapi karena tamak, sogok sana-sana. Maka, seorang pemimpin harus menyeimbangkan distribusi harta ini,” ungkap Syafi’i dalam Jakarta Economic Outlook 2017 di Sofyan Hotel Betawi beberapa waktu lalu.
Ekonomi Indonesia memang tumbuh meski tanpa pemerataan. Itu kenyataan yang tidak boleh disembunyikan. Kuncinya, kata Syafi’i, adalah proporsional. “Bila tidak, nanti akan ada api dalam sekam,” ucapnya.
Menurut dia, ekonomi Islam itu semangatnya berbagi. Ini karena, zakat akan membuat penerimanya punya daya beli. Para mustahik yang punya daya beli, akan membuat permintaan agregat naik, produksi barang dan jasa jalan, dan lapangan kerja terbuka sehingga pertumbuhan ekonomi tercipta. “Sayangnya, semua teori sudah ada, tapi Muslim belum maju,” katanya.
Sayangnya, ada tiga hambatan yang membuat kemajuan umat belum terealisasi dalam pengelolaan zakat tersebut.
Pertama, kata dia, adalah hambatan filosofis. Banyak yang keliru soal pola pikir jadi kaya dan bersyukur dibanding miskin dan bersabar. “Banyak yang pilih miskin sabar. Pandangan soal zuhud dan fardhu kifayah banyak yang salah, sehingga banyak yang harus dibenahi,” kata anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Republik Indonesia itu.
Kedua, soal hambatan teknis yang berhubungan denga peningkatkan kompetensi umat. Kata dia, banyak usaha rintisan muncul dan itu bagus. Tapi, usaha rintisan tidak akan besar kalau manajemen tidak ditata dan kemampuan bahasa asing pengelolanya tidak berkembang. Padahal, keduanya adalah syarat untuk menembus ekspor.
“Juga pengembangan kompetensi SDM berbasis sertifikasi. Kalau kualitas SDM dibenahi, kompetensi dan daya saing Indonesia naik,” ujarnya.
Ketiga, hambatan politis. Ini penting untuk kemampuan meningkatkan daya saing umat. Masalahnya di Indonesia, pemimpin publik butuh uang besar. Untuk kampanye bupati saja bisa jadi butuh triliunan. “Lalu uang dari mana? Yang bantu sumbang itu kan pasti berharap dapat imbalan konsesi saat calonnya menang,” kata Syafi’i.
Sehingga, tidak heran bila kebijakan yang dibuat adalah untuk balas budi dulu. Penguatan UKM ada, tapi belakangan. Itu sebabnya, pemberdayaan UKM tidak pernah selesai dan tidak serius. Membenahi kemiskinan tidak pernah selesai dan hanya hangat saat pilkada.
Maka, keberpihakan politik dalam bentuk pilkada ini memang besar. Yang bisa memberi uang saat pilkada, maka ke sana akan mengarah kebijakan. Di sini umat harus dibangkitkan ideologi, politik, dan ekonominya. Kalau ada nasionalisme produk seperti Korea Selatan yang menahan diri dari menggunakan produk Jepang akan bagus karena efeknya pada penyelamatan devisa.
“Paksakan pakai produk sendiri. Yang bisa kita lakukan, lakukan saja. Sesuatu yang tidak bisa lakukan 100 persen, jangan tinggalkan semua,” ujar Syafi’i. Jadi antara ideologi, politik, dan ekonomi punya bauran yang sama. Umat bisa mengoptimalkan apa yang dimampui sekarang. Pusat-pusat keunggulan yang umat punya, nanti bisa diintegrasi.
Sumber ; republika.co.id












