JIC — Raja Arab Saudi, Salman Bin Abdulaziz Al-Saud dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia pada 1 sampai 9 Maret 2017, namun kunjungan kenegaraan hanya akan dilakukan pada 1 sampai 4 Maret. Sisanya Raja Salman yang akan memboyong 1.500 rombongan, 10 Menteri dan 25 Pangeran itu akan beristirahat di Bali. Majalah Forbes menyebut Raja Salman punya harta kekayaan sangat besar, yaitu sekitar USD 17 miliar (setara Rp 226 triliun). Kekayaannya dapat terlihat dari beberapa harta dan investasi yang dimilikinya. Atas kekayaan tersebut banyak rakyat Indonesia yang begitu takjub dan kagum terhadap kunjungan yang penuh dengan maksimalitas persiapan. Mengapa Islam menganjurkan setiap pemeluknya untuk memiliki harta berkecukupan yang mapan? Inilah penjelasannya,
Masya Allâh, “Sudah kaya, taat beragama, rajin beribadah, berinfakpun tidak pernah putus.” Demikianlah kira-kira pujian terhadap orang yang memiliki banyak harta, berahklaq baik dan taat menjalankan perintah agama.
Bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi harta kekayaan yang dimilikinya, haruskah dia kaya, atau biasa-biasa saja, ataukah terima apa adanya ?
Harta kekayaan merupakan nikmat Allâh yang harus disyukuri. Kaya di dunia bukan satu hal yang tercela. Namun yang menimbulkan cela adalah prilaku orang berduit yang rakus dan tamak terhadap harta. Dalam rangka menumpuk harta, mereka tak segan-segan menggunakan cara yang tidak halal. Setelah berhasil meraihnya, mereka tidak menunaikan haknya, bakhil, membelanjakan harta bukan pada tempatnya atau bahkan sombong karenanya, sehingga Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ﴿١٩﴾ إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا ﴿٢٠﴾ وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. [al-Ma’ârij/70:19-21]
Agar sukses dan bahagia di dunia dan akherat, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan para hamba-Nya agar berdo’a sebagaimana firman-Nya :
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Wahai Rabb kami ! Karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api Neraka. [Al-Baqarah/2:201]
Imam Khâzin rahimahullah menegaskan dalam tafsirnya bahwa Allâh Azza wa Jalla membagi umat manusia yang berdo’a menjadi dua; (pertama) kelompok yang hanya berdo’a untuk kepentingan dunia. Mereka ini adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak menyakini hari kebangkitan dan akhirat. Sementara kelompok lain (kedua) yaitu orang-orang mukmin yang menggabungkan dalam do’a mereka antara kepentingan dunia dan akherat. Dengan alasan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah yang selalu kekurangan, tidak sanggup hidup sengsara dan terlunta-lunta.[1]
Para pendahulu kita, assalafus shalih dari kalangan shahabat maupun tabi’in telah memberi teladan bagaimana meraih sukses di dunia dan akhirat. Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu misalnya, beliau Radhiyallahu anhu memiliki isteri empat. Meski sepertiga hartanya telah diwasiatkan, tapi masing-masing isterinya masih mendapatkan bagian satu juta dua ratus dinar. Jumlah harta kekayaan beliau Radhiyallahu anhu seluruhnya adalah lima puluh juta dua ratus ribu (dinar). [2]
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkomentar, “Ini menjadi bantahan terhadap orang-orang zuhud yang tidak berilmu yang tidak suka mengumpulkan harta kekayaan.” [3]
Oleh karena itu, Islam tidak membiarkan seorang Muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan ketika mengais rizki, sehingga pintu kemakmuran dan keberkahan akan terbuka.
ISTIQOMAH DENGAN HARTA
Kekayaan kadang membuat manusia lupa kepada Allâh Azza wa Jalla yang telah memberi mereka harta. Ini menyebabkan kufur nikmat. Jika kekayaan membuat seseorang tetap istiqamah dan taat beragama, maka harta itu akan mendatangkan manfaat yang sangat banyak. Misalnya, dengan hidup berkecukupan, maka menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh. Oleh karena itu, harta di tangan seorang Mukmin tidak akan berubah menjadi monster perusak kehidupan dan tatanan sosial serta penghancur kebahagian keluarga dan pilar-pilar rumah tangga. Sebaliknya, harta ditangan seorang Muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah dan perekat hubungan dengan makhluk.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَ الْـمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ
Harta terbaik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih.[4]
Bahkan harta tersebut akan menjadi sebuah energi yang memancarkan masa depan cerah, dan sebuah kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan dunia dan akherat. Harta juga bisa menjadi penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allâh.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا﴿٨﴾ إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allâh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al-Insân/76:8-9].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi pujian kepada seorang Muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَليَ عِيَالِهِ
Dinar terbaik yang dibelanjakan oleh seseorang lelaki adalah dinar seseorang yang dibelanjakan untuk nafkah keluarganya.[5]
Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan berpacu untuk mengejar pahala dan meraih surga, seperti yang terjadi pada kehidupan Umar Radhiyallahu anhu yang bersaing secara sehat dalam berinfak di jalan Allâh dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki banyak harta. Saya mengatakan, ‘Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar Radhiyallahu anhu .’ Lalu aku membawa setengah dari hartaku untuk disedekahkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ?’ Saya menjawab, ‘Aku tinggalkan sejumlah itu untuk keluargaku.’ Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Bakar ! Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu ? Ia menjawab, ‘Saya tinggalkan Allâh dan Rasul-Nya untuk mereka.’ Lalu aku berkata, ‘Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.'[6]
PAHALA MENCARI NAFKAH
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allâh, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri[7]
Abu Qasim al-Khatly bertanya kepada imam Ahmad rahimahullah, “Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rizkiku tidak akan lari dan pasti datang.” Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasûlullâh, “Allâh menjadikan rizkiku di bawah kilatan pedang (jihad).” [8]
Allâh Azza wa Jalla tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan, bahkan Allâh mencintai orang kaya, asalkan tidak sombong, mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allâh, bersikap sombong dan kikir.
Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: Barangsiapa yang merusak tawakkal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunnah.[9]
Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal tidaklah demikian bahkan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu berkata, “Termasuk indikasi pahamnya seseorang terhadap agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.” [10]. Wallahu a’lam
Oleh Ustadz Zainal Abidin Bin Syamsuddin.
_______
Footnote
[1]. Lihat tafsir Lubâbut Ta’wîl, Imam al-Khâzin, 1/ 134.
[2]. HR Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3129) dan Abu Nu’aim dalam Hilyah, hlm. 286
[3]. Fathul Bâri, Ibnu Hajar, 6/ 262.
[4]. HR. Ahmad dalam Musnad dengan sanad hasan, juz 4, hadits no. 197 dan 202.
[5]. HR. Muslim (2/574)(994).
[6]. HR. Tirmidzi3675, al-Hâkim dalam al-Mustadrak1/414. Beliau t mengatakan shahih
[7]. HR. Bukhâri dalam Shahihnya (2072) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8/6
[8]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[9]. Talbîsul Iblîs, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[10]. Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlâhul Mâl, hlm. 223, Ibnu Abu Syaibah (34606) dan al-Baihaqi dalam as-Syu’ab (2/365)
Sumber : almanhaj.or.id